Segeralah dekap aku dan katakan bahwa aku tak sakit sendiri dan sakit itu akan berubah menjadi bahagia yang tak pernah kumiliki. Karena waktu yang kumiliki tak bisa menjamin dekapan berikutnya.
...Selamat membaca.
...
Aleta menggeser badannya ke kiri dan ke kanan berulang kali. Hal ini sudah berlangsung selama satu jam lamanya. Aleta gelisah sehingga tak bisa terlelap. Di otaknya terus berputar bayangan kejadian tadi di sekolah.
Wajah wanita paruh baya itu terukir jelas dalam jejak ingatan Aleta. Dia benar-benar wanita yang selalu menggendongnya sambil menyuapi sesendok nasi ketika kecil. Dia benar-benar wanita yang membacakan dongeng kancil di malam hari waktu itu. Dia benar-benar wanita yang selalu Aleta rindukan dengan sejuta kepedihan dan kepiluan mendalam.
Melihat wajahnya terbesit ingin berhambur dipelukannya dan enggan untuk lepas. Namun, tak dapat ia lakukan. Lukanya terlalu besar, lukanya mengalahkan rindunya. Lukanya mendominasi egonya.
Menangis tak lagi Aleta lakukan. Air matanya seolah kering. Mendengar bahwa Ibunya menjadi salah satu donatur di sekolahnya membuat Aleta banyak berpikir. Akankah dia tahu Aleta bersekolah di sana? Akankah dia memang sengaja mencari Aleta dengan menjadi donatur? Akankah ini semua ... takdir?
Aleta menghela napasnya. Dia lelah terus berpikir berbagai 'akankah' dia ingin semua pertanyaan yang melintas dalam otaknya mendapat jawaban yang pasti. Haruskah dia menemui?
Ingatan Aleta kini kembali ke waktu di mana dia ke boutique Oma. Dia tidak mungkin salah lihat hari itu. Dia benar-benar melihat sosok Ayahnya.
Mengapa orang-orang yang pergi meninggalkannya terlihat begitu bahagia? Mengapa hanya ia yang merasa gelisah, hancur, perih dan pilu secara bersamaan? Takdir seolah mempermainkannya. Selama ini Aleta sudah berusaha sekuat yang ia bisa untuk mengubur semua masa kelamnya. Mengubur kenangan manisnya. Lalu mengapa sekarang justru mereka yang memberikan begitu banyak lebam luka di hatinya kembali? Disaat kembali pun hanya Aleta yang merasakan pilu dan sesaknya. Mereka?
Aleta mengembuskan napasnya kasar sambil mengerjapkan matanya. Seperti ada desakan yang ingin keluar begitu saja.
“Apa cuma gue yang ngerasa gini? Apa cuma gue yang berhak menerima sakit semacam ini?” gumam Aleta pada dirinya sendiri.
***
“Oma Aleta boleh tanya?” tanya Aleta sebelum mengambil makanan di atas meja.
“Mau tanya apa?” Arna ikut memperhatikan Aleta.
“Mama atau Papa pernah ngabarin Oma? Atau udah nemuin Oma?” tanya Aleta dengan hati-hati.
Arna diam. Dia mengalihkan tatapannya dari Aleta.
Aleta yang mengerti luka Arna sama dengan lukanya akhirnya menggenggam tangan omanya sembari berkata sekali lagi, “Oma, Aleta tau perasaan Oma. Tapi Aleta perlu tau soal ini.”
“Kenapa kamu nanya gitu?”
“Aleta cuma nanya. Aleta perlu memutuskan sesuatu.”
Arna menggeleng sambil menggenggam tangan Aleta dengan tangannya yang satu lagi. “Enggak pernah. Aleta jangan terlalu banyak pikiran, ya? Kamu ingatkan jadwal kemoterapi kamu?”
Aleta tersenyum pilu mendengar jawaban Arna. Dia tidak sepenting itukah di mata orang tuanya?
“Iya Aleta ingat.” Aleta melepaskan genggaman tangan mereka lalu mulai mengambil nasi goreng lalu melahapnya dan pergi ke sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wish Look for Miracle | Lengkap √
Fiksi Remaja(Re-publish) Judul awal "Aleta" Kamu akan tetap menjadi mentariku kala gelap menghampiri... Kamu tetap menjadi mentariku kala malam menemani... Kamu tetap menjadi mentariku bahkan ketika dunia tak mengizinkan mentari dan bintang bersatu... Kisah...