Maybe, i'm wrong here. Kurang rinci (?)
Jadi, Taetae bukan jatuh lewat railing.
Tapi, lewat tangga (lagi) huhu✄┄┄┄┄┄┄┄┄┄┄┄┄┄
"Mark! Antarkan pesanan ini ke meja nomor sebelas."
Pemuda bersurai perak itu tampak sibuk dengan aktivitasnya, segera menggiling bubuk espresso setelah satu pesanan diantarkan oleh pegawainya beberapa detik lalu. Apron coklatnya melekat dengan indah pada tubuhnya—tak terlalu tinggi, namun terbilang proporsional. Meskipun dirinya mengenakan kemeja longgar, siapa saja pasti sudah dapat menebak, bahwa ada otot-otot terlatih di baliknya. Sesekali ia menyisir surainya ke belakang dengan jemari, menampilkan keningnya yang laksana pemikat hati; mampu membuat gadis mana saja menjerit tatkala melihatnya.
Park Jimin, usia dua puluh tiga, seorang barista sekaligus pemilik sebuah kedai kopi ternama di kota Busan. Setiap harinya, banyak pengunjung—mayoritas wanita, yang menghabiskan waktu di kedainya. Bahkan, tak jarang hanya sekedar ingin menyapa Jimin yang tengah meracik kopi. Wajahnya terlalu mempesona, gerakannya sangat atraktif, penuh presisi, mampu melelehkan hati gadis manapun tatkala mengedipkan sebelah matanya jahil di tengah aktivitasnya.
Akan tetapi, Jimin dibuat terheran kali ini. Matanya mengerjap dramatis, teralihkan pada secangkir espresso yang beberapa waktu lalu diantarkan oleh Mark—seingatnya—yang kini malah terhidang apik di hadapannya, tepat di samping mesin penggiling kopinya. Jimin bahkan sekarang sudah benar-benar yakin, bahwasanya itu adalah espresso yang dibawa Mark. Ada tulisan Hi di atas espresso itu, tepat di dalam latte art berbentuk hati yang dibuatnya. Sesuai pesanan seorang pelanggan.
"Bro?" Jimin mengernyitkan alis pada Mark yang masih berdiri di sebelahnya.
"Untukmu," hanya kata itulah yang diucapkan oleh Mark, sebelum ia berlalu begitu saja dari hadapan Jimin. Kembali menghampiri pelanggan yang sesaat lalu melambaikan tangan padanya sembari mengangkat daftar menu.
Jimin terlalu abai, terlalu sibuk dengan dunianya, terlalu menikmati aktivitasnya. Tak mempedulikan gerangan siapa yang berniat ingin berkenalan dengannya. Begitu sederhana, Jimin menyibukkan diri agar tak mengingat masa lalunya. Sudah kebiasaan, menjadi rutinitas. Dan jika saja kuat, mungkin Jimin tak akan membiarkan tubuhnya beristirahat sedikit pun. Karena, di setiap diamnya, selalu saja ada bayangan Kookienya yang muncul meresahkan hingga ke lubuk hati. Mengusik kembali airmata yang nyaris kering, akibat tangisannya di setiap malam—sebelum ia dapat terlelap.
Ya, Jimin selalu abai. Namun, ini bukan kali pertama pelanggan misterius itu meninggalkan secangkir espresso di hadapannya. Selalu dengan ukiran artnya yang bertuliskan Hi. Cara yang terlalu manis, yang mana menjadikan timbulnya sekelebat rasa penasaran di benak Jimin; gadis imut manakah yang berkreatif menerornya dengan cara begini?
Maka, Jimin keluar dari teritorial kerjanya. Melangkahkan kakinya menuju meja nomor sebelas, meja yang selalu diduduki oleh si misterius. Menyerahkan pekerjaannya sementara, pada barista lain—pegawainya. Jimin tak tahu, mengapa tiba-tiba harus segugup ini. Benar-benar memalukan. Mengingat dirinya yang selalu dikerumuni oleh banyak wanita. Dan lihatlah, ia bahkan harus mengatur degup jantungnya yang berantakan hanya karena akan menemui seorang wanita. Tak ada bibit menjadi playboy, hampir seratus persen.
Meja nomor sebelas, salah satu tempat yang berbilik. Terletak di ujung, biasanya dipakai oleh para pebisnis yang sedang bersantai. Salah satu tempat duduk yang eksklusif di kedai Jimin, ada biaya sewa per-jam yang dikenakannya pada ruang tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
BOY [complete]
Fanfiction[COMPLETE] Jungkook yang merindukan kakak lelakinya, dan Taehyung yang terlalu mencintai adiknya. Kim Taehyung x Jeon Jungkook (BxB) PS. Mohon bijak dalam membaca, this content is only intended for 18+ thanks.