We just split up for a moment, that's all

14.8K 2.1K 351
                                    































"Apa? Kookie mau dibawa ke tempat yang banyak permen dan susu pisang?" Bocah tersebut berkata dengan bola mata yang berbinar tertarik.

"Ya," pamannya mengangguk, lantas mengusap lembut surai hitamnya, "Jadi, mau pergi kesana?"

"Tentu, Paman! Kookie mau sekali," ia menjawab semangat, "Chim Hyung juga pasti sangat suka kalau pergi kesana."

Dimana, kerutan yang lain muncul secara mendadak di kening paman Park. Menghela napas sejenak untuk sekedar berkata, "Tapi, Kookie ... Chim Hyung tak akan ikut kesana." Yang mana, jawabannya tersebut mampu menjadikan Jungkook kecil menatapnya heran, diiringi raut wajah yang perlahan menyedih.

"Kenapa, Paman? Kenapa Chim Hyung tak akan ikut?"

"Dengar," paman Park memegang kedua pundak Jungkook, "Chim Hyung tak boleh ikut, karena—" berpikir sejenak, sebelum akhirnya menjawab asal, "Disana, ada laki-laki tua yang tak menyukai anak berumur tujuh tahun. Kau tahu? Hyungmu usianya tujuh tahun. Kalau dia ikut, dipukul oleh orang itu bagaimana? Kookie tak mau, 'kan?" Jungkook hanya mengangguk sebagai jawaban, ada gurat resah disana, "Makanya, kau saja yang kesana. Umurmu baru lima tahun, Kookie. Nanti ... kau bawakan saja permen dan susu pisangnya saat pulang, oke? Berikan pada hyungmu."

"Apa boleh seperti itu, Paman?" Tanya Jungkook menatapnya penuh harap.

"Ya, tentu." Angguk paman Park, "Kau boleh membawa sebanyak mungkin, untuk Chim Hyung. Mau?"

"Mau, mau, Paman! Ayo, kita ambilkan buat Chim Hyung sekarang. Dari kemarin dia menangis, katanya rindu papa dan mama. Kookie bahkan tak tahu, siapa itu papa dan mama. Ah, sudahlah. Kalau dikasih permen atau susu pisang, pasti Chim Hyung tak akan menangis lagi." Jawab Jungkook kecil seraya berceloteh dengan polosnya.

Disini, suatu getaran mendadak menyentuh pria dewasa di hadapannya. Paman Park merasakan ada suatu ganjalan, yang tiba-tiba menahan niatnya. Sadar tak sadar, ketulusan yang terpancar dari manik jernih milik Jungkook, menyentuh relung jiwanya seketika.

Akan tetapi, logika kembali meracau akal pikirannya. Ia tak mau hidup susah, lagipula ini tak seburuk yang terlihat—pikirnya. Selain perekonomiannya yang akan membaik, kehidupan keponakannya pun sudah terjamin untuk ke depannya. Kapan lagi ada tawaran yang sangat menguntungkan banyak pihak seperti ini? Bodoh, jika ia menolaknya.

"Besok," ucap paman Park, "Besok akan ada mobil bagus yang menjemputmu kesini."

"W-wah, mobil? Maksud Paman, benda yang bergerak dan punya roda seperti gerobak paman Seok?" Jungkook bertanya sembari terengah.

"Aish. Bukan, Kookie. Tentu saja, bukan. Gerobak paman tetangga itu gerobak sampah, kau tahu?" Jungkook lantas mematung mendengar ucapan paman Park, "Yang ini, sangat bagus. Kau pernah lihat benda yang bergerak mengangkut sembako kita, bukan? Nah, seperti itu. Tapi, kalau yang ini—" sang paman berucap dengan nada persuasif, layaknya iklan-iklan yang muncul di layar kaca, "Paman yakin, pasti bagus sekali. Kau akan merasa menjadi seorang pangeran."

"Pa—pangeran? Pangeran itu apa, Paman?"

Pria itu pun menggaruk tengkuknya yang tak gatal, "Astaga, kenapa kau banyak tanya sekali?!"

"Tentu saja," sahut Jungkook, "Kookie pasti akan bertanya, kalau Kookie tak mengerti. Bukankah harusnya seperti itu, Paman?"

"Oke, oke. Kau benar, Kookie." Paman Park akhirnya mengalah—atau mungkin merasa kalah—dengan bocah tersebut, "Kau akan mengetahui apa artinya seorang pangeran, kalau kau sudah pergi ke tempat yang paman katakan padamu. Oke?"

BOY [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang