Confusing love, yeah.

6.7K 980 76
                                    
































Kedua mata Jimin semakin membengkak. Hari ini benar-benar merupakan salah satu hari terberat di dalam hidupnya. Jimin bahkan tak kuat untuk berdiri barang semenit saja. Akan tetapi, Jimin masih bersyukur karena ada dua sosok yang menahan tubuhnya untuk bangkit. Hari ini, Park Jimin benar-benar merasa sebatang kara. Tak ada keluarga, sekali pun hanya seorang wanita yang akan menjadi keluarga abadinya kelak. Park Jimin sungguh terpuruk, tubuhnya seolah-olah dihantam oleh badai yang sangat besar. Menjadikan dirinya tak berdaya dan nyaris mati ditelan kesakitan.

"Minji-ya, sayang, kenapa kau membiarkan air mataku jatuh begini? Kenapa kau tak mau mendengarkanku? Kenapa kau tak mempercayai kami berdua? Kau jahat sekali, Minji." Jimin berceloteh bersama isakan tangisnya, dari semalam Jungkook dan Taehyung bahkan terus mendengar Jimin menggumamkan kata-kata yang sama. Dan hari ini, tepat di hadapan foto yang terletak percis di belakang sebuah peti yang dihiasi oleh bunga-bunga, bersama bau dupa di sekelilingnya, Jimin mengucapkannya lebih keras. Terlihat amat tersiksa.

"Jim, tenanglah, sobat. Aku disini, aku ada disini untukmu. Minjimu mungkin telah berbahagia disana, tersenyum untukmu. Kau juga harus tersenyum, Jimmy. Aku yakin, kau kuat." Taehyung berujar halus sekali seraya mengusap punggung lelaki bermarga Park tersebut, matanya berkaca-kaca ikut merasakan sakit yang tengah menerpa ulu hati kawannya. Kemudian, dengan berat hati Taehyung pun memilih untuk mundur; membiarkan sang adik menggantikan posisinya. Karena, Taehyung teramat tahu bahwa Jungkook adalah orang yang paling ingin menenangkan Park Jimin di kala seperti ini. Dan Taehyung tahu, bahwa Jungkook ikut menangis tatkala menyaksikan air yang menetes begitu banyak dari kedua mata jernih Park Jimin.

"Jay, aku ingin ke kamar mandi," bisik Taehyung sembari memegang pundak Jungkook, "Terus beri dia semangat, buatlah dia tersenyum." Dan Taehyung menepuk pundak itu dua kali sebelum berakhir pergi dari hadapan adik lelakinya.

"H-hyung...." Jungkook tampak ragu sebelum mendaratkan telapak tangannya pada pundak Jimin, "Hyung, tolong bersabarlah. Aku tahu, kau adalah orang terkuat yang pernah kutemui. A-aku tahu kau sangat sakit saat ini, tapi—" dan ucapan Jungkook terhenti tatkala Jimin mendekapnya secara tiba-tiba, terlampau erat.

"Jay, jangan tingalkan aku. Jangan pernah tinggalkan aku." Tubuh Jimin bergetar karena terisak. "Hanya kau, hanya kau yang kumiliki saat ini. Jangan pernah meninggalkanku...."

Jungkook merasa kebingungan, hatinya terlalu riuh dan membuncah. "Tentu, Hyung, tentu saja. Aku disini, aku akan selalu ada untukmu. Jangan bersedih lagi, Hyung. Aku disini, aku akan selalu berada disini untukmu."

Maka, Kim Taehyung hanya mampu tersenyum dari jauh tatkala menyaksikan keduanya berdekapan teramat erat. Mencoba meyakinkan dengan kuat bahwa dirinya baik-baik saja, tentu, selama kedua lelaki yang dikasihinya itu dapat berbahagia.

'Jimmy, ah, tidak, Chim Hyung, aku disini. Adik kecilmu. Kau tak sendiri, ada aku. Kau tak sebatang kara lagi Chim Hyung. Aku disini sebagai Kookie, adik kandungmu, satu-satunya keluarga yang dimiliki olehmu. Kali ini, hanya untuk kali ini saja....'

***

Pada kenyataannya, Kim Taehyung belum pernah melihat perempuan itu. Kim Taehyung belum menemui Im Nayeon. Hari itu, sebenarnya Taehyung memang akan melakukan pertemuan dengan gadis tersebut, namun urung karena tiba-tiba si gadis Im memiliki urusan yang sangat penting. Pun, Taehyung tahu bahwa Jungkook tengah kacau pada petang itu. Taehyung tak tahu apa yang menjadi penyebab bocah itu murung dan mengurung diri di dalam kamarnya. Yang Taehyung tahu, jelas dirinya harus selalu membuat adik lelakinya itu baik-baik saja. Ya, bagaimana pun caranya.

"Hyung, aku sangat kasihan pada Jimmy hyung. Kau tahu? Dia sangat mencintai gadis itu. Aku tak bisa membayangkan bagaimana Jimmy hyung dapat melalui hari-harinya saat ini." Jungkook berujar sembari menyandarkan kepalanya pada bahu Taehyung. Telah terhitung lima belas menit Jungkook merasakan nyaman pada posisinya. Mengaku tak dapat tidur dan berpindah ke dalam kamar kakak lelakinya yang ternyata juga belum terlelap. Berakhir dengan menonton film dengan menyandarkan punggung masing-masing pada headboard. Meski pada faktanya, pikiran mereka tak terfokus pada film yang diputar, dan menjadikan televisi di hadapan mereka layaknya radio rusak yang tak dapat ditonton maupun didengar dengan baik.

"Yang terpenting, kita harus selalu ada untuknya." Sahut Taehyung dengan lembut, "Kita mungkin tak dapat membuat lukanya pulih seperti sedia kala, tapi setidaknya kita dapat mengurangi sedikit bebannya, membuat dirinya merasa tenang dan memiliki sandaran. Yang terpenting kita tak membuatnya merasa sendirian, Jay."

Jungkook mengangguk kecil, bibirnya sedikit cemberut, "Hyung, bolehkah aku memberitahukan satu rahasia padamu?"

Taehyung buru-buru membenahkan posisi duduknya, menolehkan kepala pada pemuda di sampingnya yang tampak ragu, "Kau menyembunyikan sesuatu dariku? Dari hyungmu?"

"Bisakah kau tak marah kepadaku?" Jungkook bertanya separuh memohon.

Maka, Taehyung pun tersenyum selayaknya seorang kakak kepada adik lelakinya, "Katakan saja."

"A-aku menyukai Jimmy hyung, aku jatuh cinta pada Jimmy hyung."

Ini bukan rahasia. Sumpah mati Taehyung berkata pada dirinya sendiri bahwa ini bukanlah suatu rahasia. Ini adalah hal yang ditunggunya semenjak lama, dimana Taehyung mendengar sendiri bahwa Jungkook dengan sudi menceritakan segalanya kepadanya. Menceritakan bahwa adik lelakinya itu mencintai Jimmy, orang yang juga telah merebut hatinya untuk pertama kali. Akan tetapi, nyatanya Kim Taehyung terlalu naif. Dirinya merasakan sesuatu mencelos di dalam hatinya, rasanya sakit. Seharusnya Taehyung bangga pada Jungkook, karena bocah itu mampu berkata jujur terhadapnya. Sekalipun ini adalah sesuatu yang salah di mata orang lain.

"K-kau? Jatuh cinta? Pada Jimmy? Bukan gadis seksi yang selalu kau ganti tiap satu minggu sekali, Jay? Apa ini? Kau bercanda?" Taehyung bergurau dengan nada yang agak terbata.

"Aku serius, maafkan aku, maafkan aku. Kau pasti kecewa padaku, 'kan, Hyung? Aku memang bodoh, maafkan aku." Jungkook menundukkan kepalanya.

'Tidak, Jay. Aku yang bodoh disini, karena aku mengharapkan orang yang tak tepat. Aku tak bisa jujur padamu. Aku juga tak ingin mengecewakanmu, maafkan aku.'

"Kau boleh memarahiku, aku memang memalukan. Aku payah hanya karena cowok dua puluh tiga tahun tukang kopi itu, Hyung." Taehyung bahkan tak tahu jika Jungkook yang sedang ketakutan ini malah begitu menggemaskan, rasanya Taehyung ingin mengantonginya ke dalam saku piyamanya. "Hyung," kali ini Jungkook menarik-narik linen yang dikenakan oleh Taehyung, percis anak kecil yang takut dimarahi oleh orang tuanya. "Ijinkan aku?" Dan siapa yang mampu menolak puppy eyes milik manusia semanis Jungkook? "Aku janji, Hyung. Aku tak akan nakal lagi, aku juga tak akan gonta-ganti pacar lagi. Asal bersama Jimmy hyung, aku janji. Janji seorang cowok sejati, Hyung."

"Katakan, apa kau bahagia?" Jungkook segera mengangguk secepat mungkin ketika pertanyaan itu lolos dari mulut Taehyung. "Uhm, lalu, bagaimana dengan papa?" Tanya Taehyung seraya menatap serius adik lelakinya, seolah menantang pemuda itu untuk menjawab hal besar tersebut.

"Uh, Hyung, rahasia?" Tawar Jungkook dengan raut wajah resahnya, namun masih dapat merasa tenang karena Kim Taehyung-lah yang tengah berada di hadapannya. Kakak lelaki terbaik sejagat raya. Manusia yang terlalu menyayanginya selama belasan tahun lamanya. "Jangan bilang papa, kumohon."

Kemudian, Kim Taehyung tampak berpikir.




To be continued....

⊱⋅ ──────────── ⋅⊰
Repub on 25-07-21
Julisfie.

BOY [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang