Sudden, thrilling feeling

5.4K 853 167
                                    





























100 comment for next chapter?























Telah terhitung sepuluh menit Kim Taehyung dengan setia mengusapi punggung adik lelakinya berusaha menenangkan. Taehyung tak kuasa menyaksikan Jungkook menangis. Taehyung dengan setia menunggu penjelasan Jungkook, karena ia tahu bahwa pemuda tersebut tak mungkin melakukan hal sehina itu. Kim Taejung pasti salah paham, atau mungkin ada suatu alasan tertentu yang menyebabkan Jungkook melakukan salah satu hal paling terlarang di keluarganya tersebut. Maka, Taehyung sontak ternganga tatkala Jungkook mengucapkan kalimat pertamanya.

"Hyung, aku mencurinya."

Ada rasa kecewa saat Taehyung mendapati kejujuran yang dituturkan oleh adiknya, namun tak dapat dipungkiri bahwa dirinya masih merasa bangga. "Jay, tapi—tapi, untuk apa? Uang dua puluh juta won itu terbilang besar, Jay."

"Soojin," Jungkook tak mau menerima tatapan dari Taehyung, ia memutuskan untuk  memainkan jemarinya sendiri di atas paha. "Untuk menebus kunci hotelmu, Hyung. Gadis itu memang sialan, dan aku terlalu panik waktu itu."

"Aku akan melaporkannya ke kantor polisi jika kau m—"

"Tak usah, Hyung." Geleng Jungkook, menoleh sekilas pada lelaki tampan di sebelahnya, "Yang penting kau baik-baik saja. Itu sudah cukup bagiku."

Taehyung pun menghela napas cukup panjang, tak memahami atas apa yang semestinya ia katakan. "Jay, lalu bagaimana aku bisa baik-baik saja jika aku melihat dirimu yang tidak baik-baik saja?"

"Maksudmu?"

"Aku melihatnya, Jay. Badanmu sedang sakit, 'kan? Bukankah kau bilang semalam sempat menabrak pohon?" Taehyung menarik bahu Jungkook hingga pemuda itu mengerjapkan matanya beberapa kali. Bersikap seolah-olah segalanya telah membaik. "Sini, mana yang sakit? Biar aku pijat."

"Aish! Aku kan sudah bilang, aku tak apa-apa." Jungkook menarik tubuhnya pelan, berbicara ngotot dengan matanya yang membulat lucu. "Bisa-bisa badanku malah remuk jika kau yang melakukannya, Hyung. Lagipula, ada yang lebih sakit saat ini."

Dan Jungkook semakin yakin bahwa Taehyung adalah kakak terpeka sedunia tatkala Taehyung menyahut, separuh ragu, "Pa ... pa?" Karena, sejujurnya Taehyung hanya tak mau membuat perasaan adiknya semakin terluka.

Sebuah anggukan menjadi jawaban Jungkook, ia tertawa miris seraya menatap kedua bola mata Taehyung, "Kau tahu? Ini bukan masalah tentang tamparan pada pipiku," ujarnya dalam, "Aku bisa menahannya, Hyung. Sekalipun papa ingin menamparku seribu kali, aku bisa menahannya. Tapi, apa kau tahu? Ada yang lebih sakit, Hyung. Disini," Jungkook menunjuk dadanya sendiri dengan telunjuknya, "Andai saja tamparan itu tak mengenai hatiku, pasti rasanya tak akan sesakit ini. Papa adalah segalanya bagiku, dan aku benar-benar telah kehilangannya sekarang."

"J-Jay, hey, kenapa kau bilang begitu?" Taehyung refleks mengusap air yang hendak mengalir kembali dari mata Jungkook, mengusap pipi atas Jungkook dengan ibu jarinya, "Papa tak meninggalkanmu, kau salah paham. Papa hanya sedang marah, kau masih putranya. Kau masih adikku, Jay. Percayalah, papa pasti akan memaafkanmu. Papa orang baik, kau tahu itu, 'kan?" Taehyung berupaya sebisa mungkin meyakinkan Jungkook agar tak tertekan. Sekali lagi, Jungkook bukanlah tipe pria cengeng. Taehyung pun pasti akan merasakan sakit di hatinya apabila sampai mendapatkan sebuah tamparan dari sang ayah yang selama ini mengasihinya.

"Aku memang salah, Hyung. Kalau mau marah, marahi saja. Jangan memanjakanku, oke?"

"Jay, aku memang marah padamu," ujar Taehyung penuh penekanan, "Kau mencuri, dan itu adalah salah. Tapi, kenapa kau harus melakukan itu demi diriku?"

Jungkook lantas menjawab dengan lantang, tatapan keduanya sama kuat. "Tentu saja karena kau hyungku, aku akan melakukan apapun demi dirimu. Aku bahkan tak keberatan jika harus masuk penjara demi dirimu, Hyung. Aku tak keberatan jika harus menyerahkan nyawaku demi—"

"Berhenti!" Taehyung menyentaknya, matanya berkaca-kaca penuh arti. Entah mengapa Taehyung merasa marah pada dirinya sendiri, kekesalannnya pada Jungkook pun melebur menjadi suatu afeksi yang sukar untuk diungkapkan. "Jay, berjanjilah padaku. Jangan pernah mengorbankan dirimu lagi untukku. Aku adalah hyungmu, dan selamanya akulah yang akan melindungimu, bukan sebaliknya."

"Hyung...."

Taehyung pun bangkit dari duduknya, berkata tanpa menoleh kembali pada Jungkook, "Istirahatlah, aku harus ke kantor sebentar lagi."

Dan kemudian, Jungkook menangis kembali.

***

Hari telah berganti, Jungkook terbangun dengan mata sembabnya. Ia benar-benar menangis semalaman, bagaimana tidak? Kim Taejung bahkan belum ingin bertemu dengannya, sekalipun hanya untuk mengantar pria tua itu menuju bandara. Hanya sebuah pesan yang ditinggalkan sang ayah untuknya, mulai siang ini akan ada dua pria yang menjadi pengawalnya. Benar-benar hukuman yang menyebalkan. Bila saja tak mengingat soal kakak lelakinya, mungkin Jungkook akan menghajar dua bodyguard itu dan membuat mereka menyerah pada pekerjaannya.

"Hyung?" Jungkook memperhatikan Taehyung yang tengah memilih dasi di laci dalam lemarinya. Jungkook pikir Taehyung sudah berangkat kerja, namun ternyata tebakannya salah tatkala ia tak sengaja melewati kamar pemuda tersebut. "Ribet sekali? Kau bisa telat, lho."

"Sebentar, Jay. Aku bingung," Taehyung menggaruk pelipisnya yang tak gatal, menilik satu per-satu koleksi dasi mahalnya bergantian, "Yang mana, ya?"

"Kenapa harus sebingung itu, sih?" Tanya Jungkook dengan nada agak kesal, tak biasanya Taehyung seperti ini. Dirinya lantas berjalan pelan menghampiri sang kakak.

"Uhm, aku mau kencan."

"Apa?!" Jungkook mengernyit, obsidiannya melebar. "Bukankah kau harus bekerja?"

"Ah, tidak, tidak," Taehyung meralat dengan cepat, "Aku akan makan siang bersama Nayeon hari ini, bukankah bisa dibilang ... berkencan?"

Disini, Jungkook mendengus malas, "Ya ampun, kukira apa." Jungkook pun langsung menghampiri laci di hadapan Taehyung, menggeser lelaki itu dengan tubuhnya, "Minggir, biar aku yang pilihkan." Kemudian, raut wajahnya tampak serius memilih. Dan Taehyung malah terkekeh menyaksikannya. "Nah, ini saja." Jungkook berbalik dengan membawa dasi Louis Vuitton berwarna beige, senada dengan jas yang Taehyung kenakan saat ini. "Sini, biar kupasangkan."

"Alright, seleramu bagus juga." Taehyung pun berhadapan dengan Jungkook, membiarkan adik lelakinya bekerja kali ini.

Jungkook menarik napas dalam-dalam, dirinya bahkan tak tahu sejak kapan aroma Taehyung bisa semenyegarkan ini. Ini adalah aroma musk, dan Jungkook tahu benar bahwa hampir seluruh pria menggunakan aroma ini untuk berkencan. Indera penciuman Jungkook mendadak tajam. Jemarinya mencoba fokus pada selembar kain panjang yang telah ia sampirkan pada leher Taehyung, mencoba mengikatnya dengan benar. Akan tetapi, dengan sial Taehyung malah terus menatapnya. Entahlah, tak sepatutnya lelaki itu menggodanya di saat seperti ini.

"Jangan menatapku." Jungkook tak tahu mengapa nada bicara yang dikeluarkannya malah berakhir terdengar ketus.

"Habisnya kau lama, sih." Jawab Taehyung datar. Tak menyadari tingkah adik lelakinya yang berbeda terhadapnya.

Jungkook pun membuang napas kasar, mendadak tak sanggup mengendalikan sesuatu yang meletup-letup di dalam dadanya. "Ah, sial! Aku lupa kalau aku tak bisa mengikat dasi," desisnya seraya melepas dasi itu dari genggaman jemarinya, "Kau ikat saja sendiri, Hyung. Aku harus mandi sekarang, jadwal kuliahku pukul sembilan. Bye, semoga acara kencanmu lancar."

Dan setelahnya, Jungkook melangkah kasar meninggalkan kamar Kim Taehyung.

"Hey, ada apa dengan bocah itu?"




To be continued....
⊱⋅ ──────────── ⋅⊰
Repub on 31-07-21
Julisfie.

BOY [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang