Not for meet, not for now.

12.3K 1.9K 153
                                    


































"Berapa umurmu?"

Disinilah dua bocah itu berbincang, tepat di dalam kamar megah milik Kim Taehyung. Duduk saling berhadapan di atas kasur empuk yang besar, menjadikan diri Jungkook dibuat terpana sesaat setelah mendudukinya.

"Lima tahun," jawab Jungkook sembari melebarkan kelima jarinya di depan wajah Taehyung.

"Wah, berarti benar. Aku ini kakakmu," Taehyung berujar dengan semangat, "Panggil aku hyung, oke?"

"Memangnya, berapa umurmu?"

"Tujuh tahun."

Dimana, Jungkook langsung memutar memorinya seketika, "Kenapa kau tinggal disini?" Tanyanya.

"Tentu saja, karena ini rumahku."

"Apa kau tak takut kena pukul?" Taehyung menyipitkan mata heran mendengar pertanyaan Jungkook, "Chim Hyung juga berumur tujuh tahun. Tapi, dia tidak ikut kesini. Kookie juga tak mengajaknya, Kookie takut Chim Hyung kena pukul. Karena, katanya paman tua disini tak suka anak berumur tujuh tahun," celotehnya, "Apa paman tadi tak memukulmu? Hmm...." sedikit ragu, sampai ia berkata, " ... Hyung?"

Ada gelenyar bahagia yang menyapa jiwa Kim Taehyung. Untuk pertama kalinya, dirinya mendapat panggilan itu. Terasa spesial, terlebih apabila yang mengucapkannya adalah bocah bersuara merdu seperti Jungkook. Akan tetapi, keheranannya lebih mampu mengambil alih atensinya saat ini, "Paman?" Taehyung benar-benar mengernyit, tampak berpikir keras, "Ah, apa maksudmu ... papaku?"

Sekarang, giliran bocah Park yang dibuat berpikir, "Pa ... pa?" Taehyung mengangguk antusias sembari memandangnya, "Paman tua tadi, papamu? Whoa...." Matanya tampak berbinar menggemaskan, mulutnya ternganga beberapa detik, "Hebat! Kau punya papa, Hyung!"

"Memangnya, kau tak punya?" Tanya Taehyung penasaran.

Jungkook menggeleng lemah, matanya berkaca-kaca, dengan bibir yang mencebik lara, "Paman pernah bilang, Kookie dan Chim Hyung tidak punya papa ataupun mama."

"Ya ampun...." Taehyung kecil segera mengusap air yang jatuh dari pelupuk mata bocah di hadapannya, kedua ibu jarinya bergerak pelan mengeringkan kembali wajah mulus Jungkook, "Jangan menangis, oke? Sekarang, kau punya papa. Paman tua tadi, uh—papaku, akan menjadi papamu juga. Jadi, tak perlu menangis." Ia menepuk-nepuk bahu Jungkook yang termenung memandangnya sembari terisak pelan.

"Kenapa? Dia papamu, bukan papa Kookie." Ujar Jungkook seraya menggelengkan kepalanya.

"Tidak, tidak," sahut Taehyung sembari menggelengkan kepala cepat, ia lantas berkata dengan pelan, "Kau itu adikku, sekarang. Jadi, papaku juga adalah papamu."

"Ya ampun, Hyung. Kookie bilang juga apa, Kookie ini adiknya Chim Hyung. Kenapa kau tak mengerti, sih?"

"Aku yang jadi hyungmu sekarang!" Tanpa sadar, Taehyung berteriak, menjadikan diri Jungkook sedikit terperanjat dibuatnya. Taehyung itu masih kecil, tak jauh beda sepertinya. Akan tetapi, aura yang dikeluarkan bocah Kim benar-benar terasa mencekamkan tatkala amarah menyapa.

"Tidak," sahut Jungkook memberanikan diri untuk balas berteriak, "Hyungku itu, Chim Hyung!"

Disini, Taehyung langsung turun dari tempat tidurnya. Langkahnya kasar, lantas menatap Jungkook sebelum menghilang di balik pintu kamarnya seraya berteriak kembali, "Kau menyebalkan! Aku tak mau punya adik sepertimu!"

***

Bagaimana cara Jimin menumpahkan rasa rindunya pada Jungkook? Bagaimana apabila ia ingin melihat wajah Jungkook? Bagaimana jika Jimin tak mampu menyimpan memori paras Jungkook untuk waktu yang lama, sedangkan sebuah foto kusut saja ia tak punya? Mungkin, jika saja Jimin mengetahui perihal perpisahannya dengan sang adik tersayang, ia akan berupaya menabung uang untuk sekedar berfoto bersama Jungkook di studio foto pinggir kota. Setidaknya, Jimin dapat menyimpan fisik Jungkook, walaupun hanya dalam bentuk sebuah kertas kecil.

Jimin mendeguk, terisak pelan di atas tempat tidur kumuhnya. Hari ini, tak ada keluar rumah. Tak ada memulung, tak ada kegiatan berjalan bersama karung berisi plastik-plastik bekas. Jimin memilih untuk memeluk kedua kakinya sendiri, menyembunyikan wajah sembabnya di antara lutut. Menangisi kepergian Jungkook, yang entah kapan akan kembali. Atau mungkin, tak akan pernah kembali.

"Chim?" Paman Park muncul, menghampiri Jimin yang tak menengok ke arahnya sama sekali.

Berat memang, dan inilah yang harus ditanggung olehnya. Menyaksikan bahwa keponakannya itu tak sebocah yang ia kira, tak seabai yang ia pikirkan. Park Jimin ternyata benar-benar merasa telah kehilangan.

"Chim, dengarkan aku," paman Park duduk di pinggir ranjang, mengusap belakang kepala Jimin pelan, "Dengarkan paman ... besok pagi, kita akan keluar dari rumah ini. Paman sudah mencari rumah yang bagus untuk kita tinggali. Rumahnya besar, bersih, beda sekali dengan rumah ini. Kau pasti suka, Chim. Kau juga akan bersekolah nanti, memakai seragam baru, tas baru, sepatu baru, buku—"

"Aku mau Kookie, Paman." Jimin menyela terlampau lirih, "Adikku, uh, bagaimana jika ia pulang nanti? Bagaimana jika ia tak menemukanku disini, dan menganggap bahwa aku pergi meninggalkannya?"

"Ya ampun, Chim. Kau bahkan langsung berpikir kesana?" Paman Park tak kuasa untuk tak mendekap tubuh keponakannya. Sadar, bahwa yang telah dilakukannya adalah sebuah bentuk kejahatan sosial. Memisahkan seorang adik dari kakak kandungnya, begitupun sebaliknya. Akan tetapi, segala pun adalah yang terbaik untuk saat ini. Karena, uang seratus juta won adalah jumlah yang teramat banyak untuknya. Mampu menunjang kehidupannya bersama Jimin, bahkan hingga bocah itu beranjak besar nanti. Ia yakin, bahwa Park Jimin akan menjadi orang yang sukses, jika ia menyekolahkan keponakannya itu dengan benar.

"Ayo, Paman. Antarkan aku menemui Kookie, pasti ia sedang kebingungan mencariku." Ucap Jimin sembari mengusap wajahnya yang basah.

"Tolong, Chim. Paman mohon, bersabarlah. Kita akan menemui adikmu, oke?" Paman Park memegang erat kedua sisi lengan Jimin, "Tetapi, tidak sekarang."

"Kenapa? Kenapa tak bisa sekarang?" Desak Jimin, yang mana menjadikan diri paman Park semakin merasa bingung.

Menghela napasnya sejenak, paman Park akhirnya berujar kembali berupaya menenangkan, "Tak bisa, Chim. Pokoknya, tak bisa. Tolong, berbahagialah demi adikmu. Jangan menangis, demi Kookiemu. Bukankah adikmu tak suka, jika melihatmu menangis seperti ini?" Jimin mengangguk seraya mencebik sedih, "Makanya, jangan menangis. Nanti, kalau sudah waktunya," jeda, sesungguhnya ia tak ingin mengatakan hal yang tak pasti. Namun, tak tega juga apabila harus terus menyaksikan keponakannya bersedih sebegininya, "Paman janji, kalian pasti akan bertemu."

"Kapan, Paman?" Ada binar bahagia yang muncul di balik mata sembab Jimin.

"Paman tak tahu pasti," paman Park berupaya mengucapkan kalimat dengan nada yang meyakinkan, "Tapi, kalian pasti akan bertemu lagi."

"Benarkah?"

Paman Park mengangguk, "Janji," ia menautkan kelingkingnya dengan milik Jimin. Melakukan seperti apa yang selalu ia lihat, ketika kedua keponakannya membuat sebuah janji. Kemudian, ia pun melanjutkan, "Jangan menangis lagi, oke?"

Pada akhirnya, dengan berat hati Jimin mengangguk mengiyakan. Tak apa, pikirnya. Asalkan ia dapat bertemu dengan adiknya kembali, Jimin rela menunggu. Jimin rela untuk berupaya tersenyum, Jimin rela untuk berupaya menahan airmatanya agar tak jatuh, Jimin rela melakukan segalanya.

Selama Jimin masih dapat bertemu Jungkook, kapan pun itu.



To be continued....
⊱⋅ ──────────── ⋅⊰
Repub on 08-07-21
Julisfie

BOY [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang