Fairy tales that I hate

6.9K 1K 34
                                    









































Dan Jungkook semakin ingin mencari tahu tentang Park Jimin. Bagaimana lelaki itu menjalani kehidupannya, bagaimana lelaki itu menyukai makanan favoritnya, bagaimana lelaki itu menyenangi tempat favoritnya, bahkan Jungkook teramat ingin mengetahui; bagaimana Park Jimin di masa kecilnya. Hingga tiba saat dimana lelaki bermata sipit itu mempersilahkannya masuk ke dalam kediamannya. Jungkook senang, tentu saja. Karena, selama ini Park Jimin belum pernah mengajaknya ke rumah. Tak apa, yang Jungkook tahu, dirinya sangat bahagia kala ini.

"Jay, kau mau minum apa?" Tanya Jimin beserta senyumannya yang memabukkan. Kakinya melangkah ke arah lemari es yang tak jauh dari posisi Jungkook terduduk, menggaruk puncak kepala kemudian ketika menyaksikan bahwa isi lemari es miliknya tak memiliki sesuatu untuk disuguhkan. Park Jimin tak tahu bahwa akan ada tamu pada hari ini, dan dirinya lupa untuk berbelanja mengisi kulkasnya kemarin-kemarin. "Uhm, maaf," ucapnya canggung, Jimin menengok ke arah Jungkook yang tengah memperhatikannya, "Cola?"

"Yeah," Jungkook merasa aneh, mengapa dirinya mengiyakan begitu saja sedangkan ia tak menyukai minuman itu? Akan tetapi, senyuman Jimin adalah segala yang terbaik di dunia. Maka, tangan Jungkook hanya mampu menerima kaleng cola itu seraya berucap terima kasih tatkala Park Jimin memberikan padanya.

"Maaf," Jimin terkekeh kecil setelah mendudukkan diri dan menyesap cola di tangannya, "Aku pemilik rumah yang payah."

"Tak apa, astaga, Hyung." Tandas Jungkook, ia lantas membuka penutup minuman itu hingga terdengar bunyi khas dari kalengnya. Agak ragu meskipun Jungkook berakhir menyesap minuman berwarna gelap itu sedikit demi sedikit. "Santai saja, aku kesini hanya untuk bertemu denganmu. Uhm, maksudku ... melihat rumahmu. A-ah, maksudku, aku hanya penasaran pada tempat tinggalmu. Kau 'kan temanku, Hyung."

"Tetap saja aku tak enak, Jay. Mau aku pesankan makanan?" Jimin hendak memanggil dengan ponselnya, namun urung karena Jungkook segera menahannya. "Ya sudah, kalau kau tak mau. Aku akan mentraktirmu tteokbokki di dekat sini. Jangan menolak, oke?" Dan Jimin hanya tersenyum ketika mendapati anggukan dari pemuda yang ditanyanya.

Kemudian setelahnya, Jungkook hanya terfokus mendengarkan bagaimana Jimin mengisahkan sebagian cerita kehidupannya di Busan. Bagaimana lelaki itu merintis karirnya dari nol, bagaimana lelaki itu menemukan pegawai-pegawai yang bekerja di kedai kopinya hingga kini. Tak banyak yang Jimin ceritakan, Jimin mengatakan bahwa dirinya tinggal sendiri di rumahnya yang terbilang besar ini. Park Jimin sebatang kara, telak semakin menjadikan Jungkook ingin melindungi serta mengasihi lelaki tersebut. Karena, sebenarnya Park Jimin sama sepertinya. Hingga di saat setelahnya, Jungkook menemukan sesuatu yang menarik perhatiannya. Tampak familiar. Sebuah kain kumuh yang tergeletak di atas tempat tidur Jimin, tepat ketika Jungkook tak sengaja melewati kamar Jimin dengan pintu separuh terbuka. Jungkook tak tahu, mengapa dirinya tertegun memandangi benda tersebut. Hatinya tiba-tiba mencelos begitu saja. Ada anomali tersendiri dalam debar jantungnya kala ini.

"Ah, mau lihat kamarku?" Suara Jimin menyadarkan Jungkook seketika. Dan tanpa mendapat jawaban dari Jungkook, Jimin segera menarik lengan pemuda itu ke dalam kamarnya. Raut wajahnya sumringah, namun tampak malu-malu secara bersamaan. "Santai saja, Jay. Dan maaf, kamarku memang agak berantakan. Oh, ya, apa kau tahu? Kau adalah orang pertama yang kuajak masuk kesini." Jimin mendudukkan dirinya di atas sebuah sofa, lantas menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya sebagai gestur agar Jungkook ikut duduk disana. "Entahlah, kau terlalu berbeda bagiku."

"Benarkah? Lalu, tunangan-" dan Jungkook segera membekap mulutnya sendiri, menyadari bahwa pertanyaannya terbilang tak pantas apabila dilontarkan pada lelaki yang lebih tua darinya itu.

Jimin pun hanya menggeleng sembari mengembangkan senyum maklumnya, "Aigoo. Maksudmu, Minji? Kau itu seperti bayi, hey," Jimin mengusak puncak rambut Jungkook gemas, "Tapi, bagaimana pertanyaanmu bisa sepicik itu?" Dengan nada lembut, Jimin pun berujar agar tak membuat pemuda di hadapannya tersinggung, "Kami memang bertunangan," ucapnya, "Tapi, kami tak sejauh yang kau pikir, Jay."

"A-maaf, Hyung." Jungkook tampak tak enak. Jimin itu pria baik-baik, bodoh saja apabila dirinya berpikir sejauh itu. Tadinya Jungkook ingin menimpali ucapan maafnya, namun urung tatkala obsidiannya kembali menangkap benda itu. Lebih jelas kali ini. Hingga Jimin langsung menyadari apa yang menarik perhatian Jungkook tersebut.

"Maaf, aku lupa menaruhnya kembali." Jimin segera meraih selimut kumuh berukuran tak besar itu dari pandangan Jungkook, lantas menaruh benda tersebut ke dalam lemarinya. "Kau pasti jijik," ucapnya agak canggung, "Kau tak keberatan, 'kan, mempunyai kawan yang jorok sepertiku?" Kekehnya hambar.

Jungkook buru-buru menggeleng sembari mengibaskan kedua telapak tangannya sebagai isyarat tidak, "Jangan begitu, Hyung. Walaupun aku tak tahu jelas apa benda itu, tapi aku yakin ... pasti benda itu sangat berharga untukmu, 'kan? Atau mungkin, kau memang tak mampu membayar biaya laundry selimutmu." Candanya kemudian.

Dan entah mengapa, secara tiba-tiba Jimin ingin mengucapkannya. "Ini milik kami berdua, bukan milikku."

"Berdua?" Kedua alis Jungkook sontak menukik bingung, Jungkook penasaran. "Maksudmu?"

"Adikku, aku mempunyai satu adik lelaki." Nada bicara Jimin terdengar layaknya orang berdongeng kali ini, pelan dan syahdu. Namun, sarat akan kepiluan. Dan Jungkook dengan senang hati mendengarkan lelaki itu berkisah di sampingnya, meskipun masih tampak heran dan tak percaya. "A-adikku, adik yang tak dapat kutemui selama belasan tahun. Aku bahkan tak tahu, dirinya berada saat ini. Entah ia masih hidup, sehat atau tidak, baik-baik saja atau tidak. Aku cemas, Jay. Setiap malam aku tak dapat tidur tanpa meminum obatku. Hatiku resah, otakku lelah memikirkannya. Setiap bangun tidur aku selalu menangis, setiap aku makan aku tak dapat berhenti untuk tak mengingatnya, apakah ia makan dengan layak atau tidak, apakah adik kecilku disuapi dengan baik atau tidak. Aku sakit, Jay." Mata Jimin memerah, tampak butiran air mata yang siap mendobraknya kapan saja. Dan manusia mana yang tega membiarkan malaikat seperti Park Jimin menangis di hadapannya? Tampak rapuh dan terluka. Hingga Jungkook dengan perlahan menariknya ke dalam sebuah dekapan.

Park Jimin benar-benar sama seperti dirinya. Atau malah, Jungkook lebih beruntung dari pria sebatang kara tersebut. Setidaknya, Jungkook masih memiliki keluarga kecil yang teramat menyayanginya saat ini. Tiba-tiba, dengan sialnya Jungkook teringat kakak lelaki di masa kecilnya. Butiran bening yang menetes pada pipinya pun langsung ia hapus dengan cepat. Hatinya mendadak ngilu, bahkan ingin menangis sejadi-jadinya di dalam dekapan lelaki yang dicintainya kala ini.

"Kookie, K-Kookie...." Rasanya bahkan lebih mengejutkan dari suara petir tatkala hujan badai, Jimin memanggil nama itu sembari terisak di bahu Jungkook. "Hyung merindukanmu, hyung sangat merindukanmu, hyung ingin bertemu denganmu. Sekali saja, tolong. Kembalilah, sekali saja." Racaunya.

Jungkook hanya dapat tertegun, tenggorokannya mendadak terasa penuh-seolah tercekat sesuatu yang teramat besar. Kedua tangannya terlepas begitu saja dari punggung Jimin. Hatinya mencelos, rasanya sukar diungkapkan dalam kata-kata. Panggilan itu, panggilan masa kecilnya. Jungkook masih ingat betul akan hal satu itu; hal yang tak dapat dilupakannya hingga kini. Bagaimana Park Jimin dapat mengucapkan panggilan nama tersebut bersama nada suaranya yang mengiris hati?





To be continued....
⊱⋅ ──────────── ⋅⊰
Repub on 25-07-21
Julisfie.

BOY [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang