Love can't be like this

5.8K 890 87
                                    




























1000 comments?



















Engga anjir. Becanda ding :")




















Cuma mau bilang, sorry? Aku cuma ngetes doang kok kemaren2. Kalian gausah ninggalin komentar kalo emang gmau? Cerita ini emang udah aku tamatin di pdf. Dan disini aku cuma tinggal editing sama publish aja. Makasih bgt buat yang udah baca dan ninggalin vote sama komentar!!! Terutama yang udah nyemangatin sama ngritikin tulisan/cerita aku!!!!<333

























Park Jimin tertegun di depan pintu rumahnya. Ini pukul sebelas malam, dan ada hal penting apa hingga bocah besar berusia dua puluh satu tahun itu berkunjung ke rumahnya pada jam seperti ini? Beruntung saja Jimin belum terlelap, dirinya pasti akan merasa bersalah bila saja tak membukakan pintu untuk pemuda itu. Cuaca di kota sedang dingin, dan Jimin tak mau apabila Jungkook sampai masuk angin karena menunggunya di luar rumah.

"Jay? Ada apa?" Tanya Jimin heran, ia baru saja membuatkan teh hangat untuk Jungkook. Meletakkan cangkir itu di atas meja. "Minumlah, kau pasti kedinginan."

"Terima kasih, tapi ... ada hal penting yang ingin kusampaikan padamu, Hyung." Jungkook tampak grogi, tak seperti biasanya. Jungkook lantas memberanikan diri untuk bangkit dari tempat duduknya, melangkah dan memutuskan untuk beralih duduk di sebelah Jimin; memposisikan diri untuk berbicara empat mata dengan lelaki tersebut. "H-Hyung, bolehkah aku mengatakan sesuatu?"

Sesungguhnya Jungkook tengah merasa kesepian. Kim Taehyung belum pulang malam ini, pemuda itu benar-benar sibuk dengan pekerjaannya. Biasanya, kakak lelakinya itu selalu menemaninya bermain overwatch apabila sukar untuk terlelap. Pada akhirnya, Jungkook teringat pada Park Jimin. Teramat merindukannya, dan rasanya sudah saatnya Jungkook untuk mengungkapkan segalanya pada lelaki tersebut. Beruntungnya, bodyguard suruhan sang ayah baru akan datang besok siang, sehingga Jungkook dapat dengan mudah meninggalkan rumah tanpa mengkhawatirkan apapun.

Jimin langsung menyahut refleks, "Tentu, t-tentu. Katakan, ada apa? Apa kau sedang membutuhkan pertolonganku? Atau, kau mau membicarakan soal—"

"Aku menyukaimu." Jungkook berupaya mengatur debar jantungnya yang menggila, menatap netra sipit di hadapannya dengan telak, "Lebih dari yang kau tahu, Hyung. Aku menyukaimu, sangat menyukaimu, bahkan aku berpikir bahwa aku telah jatuh cinta padamu."

Dan jantung Park Jimin seolah terhenti pada detik itu juga. Matanya membulat tak percaya. "J-Jay...." Jimin menggeleng pelan, "Kau, kau tak boleh begini. Kumohon, kau tak boleh begini." Ada nada permohonan pada bagaimana Jimin berujar. Sangat lembut, namun mengecewakan.

"Apa?! Apa maksudmu, Hyung? K-kenapa kau berkata begitu, huh?" Jungkook segera menggenggam tangan yang lebih tua, tatapannya berupaya meyakinkan, "Kau, bukankah kau menyukaiku? Hyung, kau menyukaiku. Aku tahu itu. Benar, 'kan, Hyung? Selama ini kau baik padaku, selalu berkorban untukku, selalu membuatku tersenyum dan bahagia. Apa namanya jika itu bukan mencintai?"

Jimin melepaskan tangannya yang digenggam oleh Jungkook, membalikkan posisi dengan dirinya yang sekarang menggenggam tangan pemuda di hadapannya. "Jay, aku tak bisa. Aku hanya tak bisa, percayalah."

"Kenapa, huh? Kenapa tak bisa? Ah, aku tahu. Choi Minji, pasti kau belum bisa melupakannya, bukan?" Jungkook tak tahu mengapa dirinya seberani ini, emosinya benar-benar mengerikan.

BOY [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang