A heart-warming comfort

10.8K 1.4K 105
                                    






































Dan disinilah mereka sekarang.

"Jimmy Hyung, ternyata kau hebat dalam bermain ice skating." Ucap Jungkook sembari melepas sepatu seluncur yang telah disewanya sekitar satu jam lalu, melucuti satu per-satu kaos kaki berwarna putih yang membaluti telapak kakinya. Wajahnya tampak merona bahagia, dan Jimin hanya tersenyum memperhatikan di sebelahnya.

"Kau juga," jawab Jimin, nadanya lembut seperti biasa, "Kau selalu berhasil mengikutiku, mengerjarku dari belakang. Gerakanmu juga lincah, aku menyukainya." Jimin mengusak kepala yang lebih muda, tak tahu saja apabila perlakuan sederhananya tersebut menyebabkan suatu debaran anomali di dalam dada kawan kecilnya. Hangat dan menenangkan.

"Ah, sebentar," tangan Jungkook merogoh saku jaketnya, matanya bergerak turun menengok ke dalam sakunya tatkala ia tak mendapatkan barang yang tengah dicarinya, "Nah," ia tersenyum ceria ketika berhasil mengambilnya, yang mana kemudian tangannya langsung terulur ke hadapan Jimin.

"Hanya tinggal dua, maaf."

Kerutan yang tak terlalu kentara hadir di antara kening Jimin, namun suatu senyuman tampak mengembang kembali, "Permen cokelat?" Jungkook mengangguk semangat dengan mata membulat lucu, Jimin masih menatapnya, "Alright, aku akan mengambilnya." Jimin pun lantas mengambil salah satu permen yang berada di atas telapak tangan Jungkook, kemudian menyobek cangkang permen itu dengan mulutnya—suatu kebiasaan Jimin—hingga terdengar bunyi kresek yang cukup nyaring, "Terima kasih." Ia berucap bersama permen di dalam mulutnya, lalu kembali dengan aktivitas mengikat tali sepatunya yang sempat tertunda semenjak Jungkook mengajaknya bicara beberapa waktu lalu.

"Hyung," panggil Jungkook, nada bicaranya terdengar mengambang ketika Jimin menoleh ke arahnya, " ... satu lagi?" Tangannya masih terulur di udara pada pemuda di sebelahnya.

"Ya ampun," sahut Jimin, ia menegakkan kembali badannya di hadapan Jungkook, lantas membuang napas yang terdengar kasar, "Satu untukku," telunjuk kanannya menunjuk pada mulutnya sendiri, "Dan satu untukmu." Kali ini, ia menunjuk ke arah Jungkook. Sontak menjadikan Jungkook tertegun sesaat.

Rasanya, seperti deja vu.

Dan belum sempat Jungkook berbicara, Jimin kembali menimpali ucapannya, "Seleramu bagus, Jay. Kita sama, suka permen yang manis. Kau tahu? Sejak kecil aku tak menyukai permen yang asam, apalagi pahit. Rasanya tak enak."

Lagi-lagi, ucapan Jimin mengingatkannya pada seseorang. Ada suatu perasaan yang menyeruak dari lubuk hatinya, sesuatu yang selama ini telah terkubur lama sekali. Membuat hatinya berdenyut ngilu. Dan entah mengapa, menjadikan sosok lain dari dalam dirinya menggemakan kata rindu, rindu, dan rindu.

"M-maaf, tiba-tiba mataku perih." Jungkook mengalihkan wajahnya dari pandangan Jimin, ia bahkan tak tahu mengapa dirinya seolah ingin menangis kencang sekali. Karena, yang Jungkook ketahui selama ini hanyalah fakta bahwa kakak lelakinya telah menghilang, dan tak pernah mencoba untuk menemuinya sekali pun. Hati Jungkook sakit keras, merindukan Chim-hyungnya yang tak kunjung datang. Hingga akhirnya memutuskan untuk lupa, dan menjalani kehidupan barunya sebagai Jay; putra kedua dari si pengusaha kaya raya bernama Kim Tae Jung. Mungkin, Jungkook terlalu polos saat itu. Sampai pada akhirnya, mengecap segala kepahitan yang telah dijalaninya sebagai kesalahan orang lain. Tanpa sadar, mendoktrin dirinya sendiri bahwa sang kakak telah melupakannya selama ini.

"Jay, hey, kau menangis?" Jimin meraih pundak Jungkook dan memutar tubuh itu ke arahnya, memandang penuh kecemasan, "Kenapa? Katakan, ada apa? Berceritalah padaku, kawan."

BOY [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang