Zara mengucek matanya berkali kali, sebelum beranjak dari kasurnya. Siang tadi, saat Alex menjemputnya untuk pulang, sesampainya di rumah, Zara langsung menuju ke kamar.
Mendengar rengekan rengekan Nindy membuatnya cukup geram. Hingga Zara memutuskan untuk tidur siang saja. Mengistirahatkan tubuh dan pikiran.
Perempuan dengan setelan baby doll hijau itu melirik ke jam dinding yang berada tepat di depan tempat tidurnya. Pukul 5 sore. Hingga memutuskan untuk beranjak menuju ke jendela kamar yang saat ini tertutup oleh gorden. Membuat kamar ini minim cahaya.
Krek...
Sore ini mendung. Bahkan terdengar gemuruh sesekali. Namun, tiada satupun tetesan air hujan walau awan sangat gelap kali ini.
Zara menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya lagi. Membiarkan otaknya menganggur beberapa detik, melamun sambil menatap lurus ke luar jendela. Menikmati hembusan angin sore.
Tok... Tok... Tok...
Lamunan Zara terhenti saat sebuah suara ketukan terdengar dari arah pintu kamarnya.
"Ya? Masuk aja" Ujar Zara tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun.
"Emmm" Gumam seorang perempuan di ambang pintu. "Ngapain kamu?"
Zara menolehkan kepalanya. Menatap seorang paruh baya, yang kini masuk ke kamarnya setelah menyalakan lampu di kamar ini untuk penerangan.
"Hey Ma. Nindy mana?" Tanya Zara saat mendapati ibunya kini telah berjalan ke arahnya.
"Nindy di kamarnya. Habis masak mie instant tadi" Ibu Zara, Riani, berdiri tepat di samping Zara. Ikut menatap ke luar jendela.
Menahan sekuat tenaga untuk tidak khilaf menceritakan semuanya ke perempuan paruh baya yang paling mengerti sedunia disampingnya saat ini. Namun usapan lembut ibunya di lengan Zara, ternyata meluruhkan seluruh pertahanan yang ia bangun sejak ketukan pintu terdengar.
Isakannya malah semakin terdengar hebat, sambil sesekali menyedot ingusnya yang keluar bersamaan dengan air mata ketika ibu Zara memberi tatapan teduhnya.
"Nindy... bikin Alex jauh dari Zara, Ma" Zara tau mengadu seperti ini membuat ia seperti menjelek jelekkan Nindy dihadapan ibunya. Namun, dengan siapa lagi ia bisa bercerita selepas ini jika bukan dengan ibunya. "Alex ngga boleh dekat sama Zara lagi. Alex ngga pernah main buat pinjam komik, padahal aku udah beli komik terbaru buat bikin dia kesini. Alex ngga pernah nunggu buat ke kantin. Semuanya karena Nindy yang ngelarang" Tangisan Zara semakin mengeras. Bahkan hidungnya ikut memerah.
"Mama tau. Nindy cuma nggak mau kehilangan Alex, Zara" Jawab ibu Zara dengan penuturan amat lembut.
"Tapi dia... bikin Zara jadi ngerasain kehilangan" Ujar Zara di sela tangisannya. Hidungnya terasa pedih saat ia menahan tangis. Rasanya lega bercerita dengan ibunya.
"Mama tau loh Zar. Makanya mama nyuruh Alex buat jemput kamu. Kamu beda, jadi dieeem mulu" Ibu Zara mengusap pelan pipi anaknya yang kini lembab karena air mata. "Semua itu ada awal dan akhir Zara. Ada pertemuan juga ada perpisahan. Bisa aja sekarang Tuhan lagi menyortir orang orang yang bakal sama kamu sampai akhir. Orang yang nggak mempercepat perpisahan dengan menjauh kayak gini. Lagian... Mama tau Alex juga pasti ngerasain hal yang sama. Cara Alex perhatian ke kamu, itu kadang bikin Mama mikir kalo dia suka sama kamu. Eeeeh ternyata sama Nindy" Ibu Zara terkekeh.
"Haduuuh" Zara mengusap air matanya sambil tersenyum tipis "Malu nangis gini"
Ibu Zara mengusap bahu anaknya pelan.
"Besok kan libur, dia nanti pasti main ke sini. Pinjemin aja komik kamu yang baru kamu beli itu" Tunjuk ibu Zara dengan dagu ke arah rak buku.
Zara mengangguk samar. Bisa berbincang dengan Alex saja sudah untung. Mana mungkin bisa meminjamkan komik segala.
KAMU SEDANG MEMBACA
God,I Like Him [COMPLETED]
Teen FictionJika aku berkata, 'aku mencintaimu'. Cukup klise jika kamu menjadikan ini bertepuk sebelah tangan.