Zara mencoba mentralisir rasa canggung yang ia rasakan saat tidak sengaja bertatapan dengan Alex. Perempuan ini bahkan sedikit menyesal memilih mengantarkan Raka ke kantin daripada duduk tenang di dalam kelas. Menyumpalkan headset sambil menunggu Sisil, ataupun memilih ke perpustakaan juga.
Apalagi, rasanya 1 menit berdiri di sini, serasa 1 tahun bagi Zara. Mau bergerak saja terasa kaku.
Zara bahkan berkali kali melirik jam tangannya. Menunggu Raka ternyata sangat tidak sebentar.
"Ck... Raka lama banget" Geram Zara sambil menyeka keringatnya. Akibat dari terik matahari yang tepat di atas kepala. Zara rasanya seperti ikan asin yang dijemur di bawah sinar matahari. Mulai mengering.
Baru saja ia ingin berniat untuk menengok ke belakang, sebuah tangan kekar menahan perempuan tersebut untuk berbalik lebih jauh.
Bau khas yang selalu tercium saat berada di dekatnya, langsung menusuk hidung.
Zara sedikit tersentak.
"Nunggu siapa?" Pemilik tangan kekar, menatap Zara sambil menaikkan kesua alisnya.
"Eh... Kak Dion, ini nungguin Raka" Jawab Zara, berdiri di depan lelaki yang kini mengedarkan pandangannya ke tiap sudut kantin. Mencari seseorang.
"Tumben gak sama Al... Oh lagi sama doinya" Ucapan Dion terpotong saat ia meihat 2 orang insan berlawan jenis sedang duduk bersama sambil sesekali tertawa.
Zara masih terdiam di tempatnya. Mengikuti arah mata Dion memandang. Ke tempat yang beberapa menit lalu juga Zara tak sengaja lihat.
Posisinya memang sidikit demi sedikit terganti. Tidak ada lagi Alex yang menangis di pundaknya, tidak ada Alex yang tertawa lepas di depannya, tidak ada Alex yang merangkul pundak Zara untuk ke kantin, dan tidak ada lagi Alex yang posesif. Bahkan novel di kamarnya masoh tertata rapi.
Semua terganti dengan hanya kurang lebih 5 hari. Saat tiba tiba Nindy datang, seolah menjadi tokoh utama, dan merusak semuanya.
Terkadang, Zara menyesal Alex ada di saat Nindy datang pertama kali. Zara bahkan sangat menyesal saat ia tertawa, dan seoalah mendukung senua yang dilakukan Alex.
Tidak jujur dari awal, dan menikmati hasil kejujurannya. Daripada harus berpura pura mendukung, lalu menangis di belakang. Mengganjal di hati.
Zara buyar dari lamunanya, saat tangan besar Dion bergerak tepat di depan wajah gadis itu.
"Alex udah dewasa tepat waktu kak. Bukan salah dia kalo lagi kasmaran kayak gitu" Jawab Zara tetap dengan senyuman lebar.
Ah... Kebohongan lagi. Lidah Zara kelu rasanya jika ia ingin menjawab.
'Alex memang terlalu cepet dewasa, dan cepat pergi. Itu menyebalkan'
Dari kejauhan, Zara lihat seorang lelaki dengan semangkuk bakso dan es teh di kedua tangannya berjalan menghampinya dan Dion. Mencoba membelah lautan siswa yang juga mengantri makanan.
Wajah dengan ciri khas yang tiap kali ia lewat di koridor, pasti ditanyai 'Situ cina ya?'. Dan hanya dibalas putaran mata jengah dari sang tersangka.
"Ayok Zar. Laper ini perut" Lelaki dengan mata minimalis itu mengisyaratkan Zara dengan alisnya untuk mulai berjalan. "Eh, ada kak Dion. Duluan kak. Laper"
Zara pun ikut menganggukkan kepala untuk berpamit ke Dion. "Duluan kak"
Dion tersenyum tipis sambil mengangguk samar.
Koridor kali ini cukup ramai. Karena jam istirahat adalah surga bagi semua siswa. Namun semua orang yang ada di koridor ini menyusahkan Raka.
Bahkan Raka berkali kali terdengar mengumpat saat beberapa orang menyenggol baksonya. Membuat sawi kesukaan Raka harus jatuh ke lantai dengan sia sia.
Jelas marah lah. Sawinya kan berjumlah minimalis. Kecuali yang menabrak cewek cantik. Palingan malah diambil lagi sawi yang terjatuh. Untung saja tidak ada cewe cantik yang menabrak.
"WOI MATA LO GANTI BAKSO AE SINI!" Teriak Raka saat seorang adik kelas berlari melewatinya, dan tak sengaja menyenggol mangkuknya.
"Brutal ya anak jaman sekarang" Rutuk Raka sambil mengerutkan keningnya.
Zara menaikkan salah satu alisnya "Lo sendiri ya maksudnya?"
Pertanyaan Zara, hanya mendapat jawaban deheman dari Raka.
"Zar, lagi berantem sama Alex ya?" Raka kini mengecilkan volume suaranya. Tak lagi seperti tadi.
Zara sontak menggeleng. "Engga. Kita baik baik aja"
"Gak kayak biasanya. Tumben dia ga ngajak lo ke kantin. Malah ke kelas Nindy buat ngajak tuh cewe. Kayak bucin aja"
"Dia boleh ngambil keputusannya sendiri kan Rak?" Zara kini memandang lelaki yang fokus membawa mangkuk bakso disampingnya.
"Iya" Raka mengangguk anggukan kepala "Tapi jujur ya Zar..." Kini mereka berdua berhenti di depan pintu kelas.
"Gue dukung Alex buat pacaran sama siapa aja asal bukan cowo dan tanpa ngerubah sifat asli dia. Karena jujur, Alex sedikit berbeda." Ujar Raka sebelum masuk ke zona nyaman. Zona dimana tidak ada orang lalu lalang, dan berakhir menabrak mangkuknya.
***
Kalimat Raka ada benarnya juga. Tapi, jika berubahan itu menuju ke arah positif, kenapa tidak? Lagipula, sepertinya Alex sekarang lebih rajin menerima pelajaran, berangkat pagi, dan rutin makan di kantin. Peningkatan yang sangat ketara.
Saat ini, Zara berjalan di koridor yang mulai sepi. Bel pulang sekolah telah terdengar beberapa menit lalu. Namun, entah kenapa Zara malas saja pulang sekolah terburu buru. Menunggu orang orang di parkiran mulai sepi saja.
Lagian, tidak ada orang yang ia tumpangi. Jadi, ia bisa memesan ojek online kapan saja yang ia mau. Tadi, Dion sudah mengirim pesan bahwa ia ada jadwal bimbel. Sebentar lagi UN, dan ia butuh ekstra waktu dan tenaga untuk belajar.
Tujuan Zara kali ini adalah toilet. Perutnya tidak bisa menahan kencing lebih lama lagi.
Namun, hampir saja ia sampai di toilet. Sebuah suara menghentikan langkahnya. Suara yang amat familier.
"Kamu mo makan di mana?" Alex. Itu suara Alex.
"Eem... Dimana aja. Yang penting sama kamu." Jawab seorang perempuan, yang sangat amat dapat dipastikan bahwa itu adalah Nindy.
"Ish... Gombal terus." Alex menarik pipi Nindy saat tak sengaja Zara intip dari balik tembok.
Zara sedikit bergidik.
Mungkin Raka benar. Alex sedikit mengalami perubahan. Berubah menjadi menggelikan contohnya.
Zara terkekeh dengan pemikirannya. Pikiran bahwa Alex terlalu over dan berlebihan dalam berpacaran dengan Nindy. Pemikiran itu... Atau pemikiran bahwa Alex bukan otoritasnya lagi yang membuat Zara menapikkan rasa itu, dan mengartikan bahwa itu adalah rasa tak suka.
Bukankah beberapa orang melakukan hal yang sama. Mencoba menepikan fakta dan kenyataan untuk tetap bertahan pada posisi yang sama. Tidak maju ke depan, namun tak ingin mundur juga.
Berkata bahwa tak suka, walau faktanya sangat mengagumi. Mengakatakan bahwa benci, walau faktanya sangat mencintai.
Zara mendengus pelan. Tak sadar saja bahwa tangannya kini memegang dadanya tepat pada tempat hati. Menahan sebisa mungkin agar hatinya tak hancur berantakan karena jatuh terlalu keras.
KAMU SEDANG MEMBACA
God,I Like Him [COMPLETED]
أدب المراهقينJika aku berkata, 'aku mencintaimu'. Cukup klise jika kamu menjadikan ini bertepuk sebelah tangan.