32

276 10 0
                                    

Selama beberapa hari, Zara selalu menemani ibunya di rumah sakit. Pastinya dibantu oleh Nindy yang juga merawat Riani. Bergantian jaga.

Zara sebenarnya sudah mencoba menghubungi nomer telfon ayahnya. Namun, nomer itu tidak aktif sampai hari ini.

Zara sudah mengucap beribu kata maaf kepada ibunya. Ia sangat menyesal pernah melontarkan ucapan buruk ataupun perlakuan tidak baik ke orang yang telah melahirkannya ke dunia. Zara rasa, semua kasih sayang yang sudah diberi Riani selama ini, tetaplah tidak pantas jika dibalas dengan kalimat menyakitkan dari mulut anaknya walaupun perlakuan Riani beberapa hari lalu memang tidak dapat dikatakan baik.

Riani memanggil Zara dan Nindy untuk mendekat ke ranjang yang ia tempati sebelum keduanya berangkat ke sekolah. Lagipula, jam masih menunjukkan pukul 06. 25.

Euforia di ruangan ini mendadak berubah menjadi serius. Berkali kali lipat lebih serius.

"Mama mau aku kupasin buah dulu?" Tanya Zara. Riani menggeleng. Tangan perempuan yang kini terlihat infus tersemat disana, menggapai kedua tangan putrinya. Menggenggam erat.

Riani menghembuskan nafas pelan. Siapapun pasti sadar bahwa mata Riani jelas terlihat memerah.

"Mama... Mau minta maaf sama kalian" Ujar Riani tersenyum getir sambil menahan air matanya yang akan terjatuh.

"Mama tau mama bukan orang tua yang baik. Papa sama Mama sekarang sudah resmi bercerai. Mungkin itu memang jalan yang terbaik. Nindy..." Riani menggantungkan kalimatnya, dan menatap Nindy.

Nindy mencoba tersenyum kecil. Menguatkan hatinya tentang apapun yang akan perempuan paruh baya di depannya ini ucap.

"Mama minta maaf sama kamu. Kamu sebenarnya anak Mama...."

Riani menjeda kalimatnya "Anak kandung Mama dari lelaki lain selain Papamu. Maaf Nindy, Mama minta maaf" Riani tak dapat menahan isakannya kali ini. Ia bahkan mencium tangan Nindy untuk dimaafkan atas rasa bersalah yang ia rasakan bertahun tahun.

Hati Riani seakan terhantam benda keras sekali. Sakit. Melihat pertama kalinya Nindy terisak di depannya.

Kaki Nindy tak dapat menopang berat tubuhnya sendiri. Ia limbun. Hatinya ternyata tak kuat menahan sakit saat mendengar fakta yang terucap dari mulut Riani.

"Mama sama Papa sempat bertengkar hebat, hingga Papa memutuskan untuk menitipkanmu ke saudara perempuan Mama untuk merawat kamu. Papa bilang, melihatmu sama saja merobek luka yang pernah Mama torehkan dulu."

Zara bahkan tak dapat berkata kata kali ini. Serumit inikah keluarganya? Air mata tumpah. Hanya terdengar isakan dalam ruangan.

Isakan rasa bersalah yang menyakitkan siapapun yang mendengar.

"Zara... Kamu anak Mama. Dan selalu menjadi anak Mama. Kamu sudah beranjak dewasa sekarang, dan Mama harap kamu mengerti."

Zara masih tidak mengetahui maksud ucapan Riani. "Setelah bertahun tahun Mama menikah dengan Papamu, kita tidak juga dikaruniai anak..."

Riani tidak melanjutkan ucapannya. Zara memeluk erat tubuh Riani yang kini lebih kurus dari biasanya. "Mama akan tetep jadi orang tua Zara sampai kapanpun kan?"

Riani mengangguk ditengah isakannya. Memeluk Zara erat.

"Mama minta maaf Zara, Nindy. Mama sayang kalian. Maaf" Riani kini memeluk kedua anaknya tanpa bisa membendung segala tangis yang keluar. Kejujuran ini rasanya juga sedikit menorehkan kesakitan. Tapi, lebih baik begini bukan?

"Nindy, Mama janji mulai sekarang Mama akan rawat kamu dan Zara dengan baik. Mama akan menebus segala kesalahan yang pernah Mama buat. Mama sayang kalian berdua" Ujar Riani ke Nindy. Mengerti jika Nindy mungkin akan menyalahkan takdir atas ucapannya tadi. Mengerti bahwa kelak anaknya akan merasa bahwa 'Mengapa ia menjadi korban dan diasingkan karena sebuah kesalahan yang ia bahkan tidak lakukan?'. Pasti. Nindy pasti kelak akan mempertanyakan itu.

God,I Like Him [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang