29

243 16 0
                                    

Sekitar pukul 7 malam, Mama Dion menyuruh anaknya untuk mengantar Zara pulang. Lagipula, Dion sudah bercerita ke Mamanya tentang Zara yang kabur seharian ini. Hanya saja Tiara menutupi itu dengan sikap ramahnya.

Walaupun dengan berat hati, Zara akhirnya menurut juga. Setelah Tiara sedikit membujuknya, dan memberi perempuan itu jaket tebal untuk melindungi Zara dari angin malam.

"Mobilnya dibawa papa. Kamu pake motor aja Di. Jangan ngebut" Pesan Tiara sambil memberi anaknya kunci motor matic dengan gantungan oleh oleh dari Bali.

Dion mengangguk patuh. Beberapa menit yang lalu, Papanya pergi ke 40 harian mertua teman sekantornya. Tempatnya lumayan jauh. Kan kasihan, orang tua terkena angin malam.

Mengetahui bahwa atmosfer saat ini sedikit berbeda, Dion menatap Zara yang kini menampakkan raut enggan.

"Kamu hati hati ya" Tiara mengelus pundak Zara pelan.

Zara mengangguk. "Zara, boleh kesini lagi kan tante?"

Menatap Tiara penuh harap. Rumah dengan keluarga sehangat keluarga Dion membuat Zara ingin berlama lama. Bahkan perempuan itu lebih memilih berada disini daripada menaiki bianglala di pasar malam jika ada. Wahana kesukaannya.

Tiara tersenyum lembut, lalu mengiyakan. Memeluk Zara dan mengusap tengkuk gadis itu pelan.

"Ehem..." Dehaman iseng Dion, membuat 2 perempuan yang berada dihadapannya kini melirik sinis. Membuat lelaki itu mendengus geli.

"Pake ya" Dion memasangkan helm di kepala Zara. Tak lupa meng'klik' helm bagian dagu juga.

Hembusan angin malam terasa menusuk tulang. Bahkan jaket tebal yang Zara pakai, tetap tak bisa menghalau angin malam ini. Seolah berusaha masuk dari sela pori pori jaket sekalipun.

Zara tidak tahu apa yang akan ia terima di rumah setelah ini. Ia hanya merapalkan doa semoga semuanya baik baik saja.

Tak ada yang memulai percakapan.

Dion mengendarai motor dengan amat fokus. Jalanan ramai. Membuatnya tak sempat mengajak Zara berbicara. Membuat gadis diboncengannya tersenyum hingga pipinya lelah saat melihat Dion dari belakang. Pundak lebar lelaki itu, dan rambut yang menutupi sampai setengah lehernya. Ah, hari ini Dion seperti malaikat penolong saja.

Sedikit mengurangi beban Zara. Mungkin gadis itu tak harus mengharapkan Alex kembali. Dion bahkan sudah lebih dari cukup. Sangat bersyukur.

Gadis yang tubuhnya tertutupi jaket tebal itu menyenderkan kepalanya di pundak Dion. Mengeratkan pegangannya di pinggang sang pengemudi.

Yang tanpa mereka berdua sadari, bahwa keduanya juga saling bersyukur atas kehadiran satu sama lain.

***

Pintu gerbang rumah Zara tertutup. Lampu terasnya masih menyala.

Zara menatap nanar rumahnya. Entah aktivitas apa yang sekarang ada di dalam. Langkahnya amat berat untuk memasuki rumahnya sendiri.

"Makasih Kak" Ujar Zara sambil menyodorkan helm yang sejak tadi ia pakai.

"Hubungin gue ya kalo ada apa apa" Dion mengambil helm dari tangan Zara, dan membawanya dengan tangan kiri.

Lelaki itu mengacak rambut Zara pelan. Gemas rasanya. Ingin sekali menarik Zara ke rengkuhannya, seperti yang dilakukan ibunya. Tapi niat itu ia urungkan. Sadar bila akan memperkeruh keadaan jika ada yang memergoki.

Zara pun membuka pagarnya pelan. Membiarkan Dion yang masih duduk di atas motornya. Menunggu Zara masuk rumah.

Klek

Pintu ruang tamu ia buka dengan sangat hati hati. Lampu di ruang tamunya mati. Tak ada seorangpun. Bahkan tak terdengar percakapan sama sekali. Rumahnya sepi. Apa tak ada orang? Semua orang mencari Zara?

Gadis itu pun memutuskan untuk melangkah ke kamarnya. Hingga sebuah suara menghentikan langkahnya tepat sebelum ia menaiki anak tangga.

"Zara!"

"Mama..." Zara hendak menghampiri ibunya sebelum sebuah suara dari orang yang sama mengintrupsi kembali.

"Kamu darimana aja! Mama cari kamu! Kamu tuh nggak bisa ya nggak nyusahin mama? Setelah papa kamu dipecat, ngejual mobil, dan sekarang minta bercerai, kamu malah nambah masalah mama! Nggak tau diuntung! Persis kayak papa kamu! Nggak bisa menghidupi keluarga kita..."

Zara masih tak beranjak dari tempatnya. Walau air matanya telah menggenang di sudut mata. Menguatkan diri untuk mendengar kata selanjutnya yang akan keluar dari mulut Riani.

"Mama harus cari uang untuk nyekolahin kamu sendiri! Selingkuh sama suami orang juga demi kamu! Tapi apa yang kamu kasih ke mama? Kabur dan malah ngerepotin"

Zara sudah tidak tahan mendengar ucapan selamat datang dari ibunya. Perempuan itu berlari cepat menuju kamarnya. Meninggalkan Riani yang kali ini merutuki ucapannya sendiri.

Tekanan yang Riani dapat membuatnya tak bisa membendung segala kekesalannya di depan Zara. Melampiaskan semua ke anaknya.

Bahkan saat ini, Riani juga menahan tangisnya. Terduduk di ruang tengah. Dia merasa tidak menjadi ibu yang baik.

"Maafin mama, Zara. Ini bukan salah kamu. Ini salah mama" Riani merapalkan kalimat terus berulang ulang. Tidak seharusnya ia mengucapkan kalimat seperti tadi di depan Zara.

Zara menutup pintu kamarnya keras. Bersandar di samping kasur sambil memeluk lututnya. Baru kali ini gadis itu membenci hidupnya.

Menyalahkan dirinya sendiri.

Memori memori yang ia ingat saat masih kecil seakan terulang dengan sendirinya. Ketika kedua orangtuanya masih menjadi orang yang membuat Zara bermimpi harus menjadi seperti mereka.

Saat papanya menggendong Zara dipundak, saat membuat bolu bersama, ataupun saat papa Zara mengajak anaknya yang baru berumur 6 tahun ke toko buku, mengoleksi novel dan lain sebagainya. Rasanya amat menyakitkan bahwa semua itu hanyalah drama semata.
Keharmonisan yang selalu nampak, membuat Zara kecil merasa keluarganya baik baik saja.

Namun, bertambahnya usia, Zara menjadi mengerti bahwa semua itu hanya topeng belaka. Penuh sandiwara. Zara bahkan menjadi menyalahkan takdir yang dituliskan untuknya.

Menyebut nyebut keluarga orang lain, dan berharap dilahirkan dari keluarga demikian.

Mungkin Zara bisa menyemangati Alex saat lelaki itu menghadapi hal yang hampir serupa. Namun melakukannya sendiri entah mengapa sangat berat ia jalani.

Sangat terngiang ekspresi marah dari Riani yang membentaknya tadi. Bahkan tempatnya berlindung, Papa, Zara tidak tahu ada dimana.

Zara tahu kedua orangtuanya adalah orang tua yang baik. Sangat baik malah. Sebelum semua fakta terkuak beberapa menit yang lalu.

Menangis sesegukan. Bahkan ingus sudah hampir memenuhi hidung perempuan itu kali ini. Kalian pernah menahan sakit yang amat parah sampai menembus sakitnya ke hati? Mungkin itu yang dirasakan Zara. Bahkan tangisnya tak kunjung mereda.

Sebuah tangan tiba tiba merengkuh tubuh Zara. Mengusap punggung, bahkan menaruh kepalanya disamping kepala Zara.

"Always be my strong sister okey?" kalimat terakhir sebelum sang penenang juga larut dalam kesedihannya. Saling berbagi pundak satu sama lain. Saling menenangkan.

Dibawah lampu temaram kamar, keduanya menumpahkan kesedihan satu sama lain. Mencoba membagi beban yang semakin berat.

Nextnya cepet loooh. Karena sempat ngaret berminggu minggu♡(●´з')♡ heheee

God,I Like Him [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang