Bel pulang terdengar sekitar 15 menit yang lalu. Zara saat ini berada di depan UKS, sambil membawa tas ransel Alex. Lelaki itu terus menspam WA Zara untuk mengantar tasnya ke UKS saat pulang sekolah. Tumben.
Tok.. Tok..
Zara mengetuk pelan, walau akhirnya membuka pintu secara langsung tanpa menunggu jawaban dari dalam.
"Ini tas lo" Ujar Zara menyodorkan tas Alex. Menatap aneh lelaki yang saat ini malah memiringkan ponselnya untuk bermain game online. "Udah sembuh?"
Alex mengalihkan pandangannya dari ponsel sekejap. Lalu mengangguk sambil menatap ponsel kembali "Yup. Makasih ya"
"Gue pulang duluan," Baru saja Zara akan meninggalkan UKS, tangan Alex mencekal lengannya. Lagi. Kenapa sih cowok ini berperilaku aneh hari ini?
Masalahnya, Zara itu tidak bisa bersikap biasa saja seakan akan tidak pernah terjadi apapun di depan Alex. Kenapa lelaki itu tidak peka sama sekali!
"Gue anter pulang ya" Alex turun dari tempat tidur UKS setelah memasukkan ponselnya ke dalam tas. Membiarkan game online yang ia mainkan AFK. Tidak memikirkan kemungkinan ia akan kalah dalam game tersebut.
Zara mengerutkan keningnya "Nindy gimana? Gak usah!"
Perempuan itu sangat menghindari pertikaian dengan saudarinya untuk saat ini. Lagipula, Nindy baik kok menurut Zara. Zara tidak berniat menikung sedikitpun.
Alex mendahului langkah Zara sambil menarik pergelangan tangan gadis itu. "Nindy bilang dia ada kerja kelompok. Pulangnya agak malem. Jadi hari ini gue nganterin lo". Alex tersenyum kecil. Manis sekali. Rasanya sangat lama Zara tidak melihat senyum lelaki itu. Bahkan Zara tidak terlihat menolak sedikitpun ditarik seperti itu.
Mereka berdua berjalan berdampingan menuju ke parkiran yang mulai sepi. Beberapa murid sudah meninggalkan sekolah karena memang jam pulang sekolah sudah berlangsung beberapa menit lalu.
Tetap dengan motor bebek yang sama, Alex berusaha mengeluarkan motornya yang terjepit motor motor lain yang lebih yahut. Ninja ninja semua. Membuat Zara tersenyum tipis saat menatap Alex mengeluarkan motornya.
"Naik mobil sama Dion terus nggak bikin lo gengsi digonceng motor gue kan?" Alex tersenyum jahil kali ini. Mumpung tidak ada Nindy. Dasar lelaki!
Motor berisik Alex yang memang tidak bisa ngebut, mulai membelah jalanan setelah satpam sekolah mereka menyebrangkan. Satpam yang tersenyum jahil ke arah Zara saat melihatnya berada di boncengan Alex lagi.
Mungkin tidak hanya Pak Satpam itu yang melihat, karena berjarak beberapa meter, tepatnya di bawah pohon palem, seorang perempuan menahan air matanya yang gagal ia tahan. Mencoba belajar mengikhlaskan. Lagipula, sepertinya disini yang menjadi orang ketiga adalah dirinya. Nindy.
***
Zara itu lumayan sering curhat sama Pak Satpam. Curhat ke Nindy kan nggak mungkin, ke Sisil apalagi, kalo ke Alex? Kan yang dicurhatin itu tentang Alex.
Jujur, Zara sebenarnya rindu duduk di atas motor bebek Alex seperti sekarang ini. Apalagi aroma khas Alex yang tercium karena terbawa angin. Membuat Zara tersenyum kecil, melupakan sejenak masalahnya di rumah. Bahkan melupakan Dion yang mungkin saja mencari Zara untuk pulang bersama.
Seperti tidak tahu terima kasih setelah dibantu kemarin.
Ciiit
"Aaaw" Zara memegang dahinya yang terbentur helm Alex. Rem motor Alex memang tidak bisa diajak kompromi! Merusak lamunan Zara saja.
"Lo ngelamun ya? Sampe nggak tau kalo udah sampe" Ujar Alex setelah mematikan motornya di depan rumah Zara.
Zara melihat halaman rumahnya. Baru saja dia tersenyum senyum tidak jelas, kok sudah sampe rumah aja! Cepet banget rasanya.
Perempuan itu turun sambil terus menerus menggosok dahinya.
"Makasih" Rasanya tidak seperti dulu. Yang bisa bersikap terbuka ke Alex kapan saja. Sekarang, seperti ada batasan di antara keduanya.
"Hm... Gue kangen bisa main di rumah lo, baca komik terbaru punya lo, dan lain lain. Bersikap kayak dulu ya Zar kalo nggak ada Nindy. Gue pulang..."
"TOLOOONG!"
Sebuah teriakan dari dalam rumah, sontak membuat Zara yang tadinya senyum senyum ke Alex menajadi melebarkan mata. Lalu berlari masuk ke rumahnya. Berlari cepat menuju salah satu kamar yang terkunci dari dalam. Kamar yang berkemungkinan besar adalah tempat yang menciptakan suara teriakan tadi.
"MA... INI ZARA MA... BUKAIN PINTUNYA!" Zara mengetuk pintu kamar mamanya. Berusaha keras membuka pintu itu dari luar. Memutar knob sebisa mungkin.
Namun nihil. Tak ada sahutan sama sekali. Zara jadi semakin kalut saja. Suara derap langkah terdengar dari belakang Zara.
"Biar gue dorong pintunya Zar. Lo minggir dulu" Ujar Alex. Lelaki itu berusaha mendobrak pintu jati di depannya berkali kali. Mengabaikan sakit di bahunya karena terhantam benda padat.
Zara bersumpah bahwa ia akan sangat menyesali perbuatannya jika pintu itu terbuka dan ia melihat ibunya dalam keadaan terluka.
Brak!
Pintunya terbuka! Gelap. Hawa dingin langsung menyeruak dari dalam.
Zara menyalakan lampu kamar Riani. Mata Zara memanas ketika melihat Riani duduk di pojokan kamar dengan goresan yang melingkar di sekitar pergelangan tangan wanita paruh baya itu.
Zara mematung sekejap sebelum menghampiri ibunya.
"Ma, ini Zara." Ujar Zara sambil menggoyangkan tubuh ibunya. Air mata sudah membasahi pipi Zara. Gadis itu bahkan melepas dasinya untuk menutup darah yang terus keluar dari pergelangan tangan Riani.
"Kita telfon ambulans Zar" Alex beranjak, lalu merogoh ponselnya untuk menelfon ambulans rumah sakit terdekat.
Selama menunggu ambulans datang, Zara berusaha menekan luka Riani agar darah tidak keluar lebih banyak. Rasa gemetar di tangan Zara enggan berhenti sejak tadi. Sementara Alex? Lelaki itu sekarang sedang menunggu ambulans datang di teras rumah.
Tidak memburuhkan waktu lama hingga beberapa petugas berbaju putih nampak tergopoh masuk ke kamar ibu Zara. Memindahkan Riani ke sebuah tandu.
"Mbaknya mau ikut ambulans sekalian?" Tanya salah satu petugas.
Zara mengangguk. Mengikuti tandu yang saat ini membopong ibunya.
"Lex, gue ikut ambulans ke rumah sakit" Ujar Zara ketika ia sampai di teras rumah dan mendapati Alex berdiri disana.
"Gue ngikutin lo dari belakang"
Sekitar 5 menit, mobil ambulans telah sampai di UGD sebuah rumah sakit umum. Zara memilih menunggu di luar saat ibunya ditangani. Di tangan Zara, kini tersampir sebuah dasi abu abu dengan bercak darah hampir sepenuhnya.
"Tante Riani akan baik baik aja Zar" Alex mengusap lengan Zara pelan. Duduk disamping Zara setelah memarkiran motornya di parkiran rumah sakit.
Kenapa hati Zara terasa sakit sekali melihat ibunya terkapar seperti tadi? Tangisan yang sedari tadi ia tahan tak mampu lagi ia bendung. Rasa amat bersalah menguasai Zara saat ini.
"Gue emang anak nggak tau diuntung Lex. Gue nggak bisa ngertiin Mama. Gue selalu mentingin diri gue sendiri. Anak egois! Gue selalu menutup mata bahwa apapun yang dilakukan Mama adalah sebuah kesalahan. Dia memang salah. Tapi gue nggak pantes memperlakukan Mama kayak kemarin" Zara mengusap kasar air mata yang sialnya jatuh terus menerus. Membuat Zara refleks meremas dasi dengan bercah darah ibunya dengan erat.
"Ini semua bukan salah lo Zar. Jangan nyalahin diri lo terus"
"Mama pasti nyesel ngelahirin anak kayak gue..."
Alex merengkuh Zara. Mencoba menawarkan diri untuk berbagi masalah. Hal yang pasti juga Zara lakukan saat Alex di titik terlemah yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
God,I Like Him [COMPLETED]
Teen FictionJika aku berkata, 'aku mencintaimu'. Cukup klise jika kamu menjadikan ini bertepuk sebelah tangan.