26

267 14 0
                                    

Zara POV:

Ucapan Mama kemarin malam seakan terngiang ngiang selalu di otakku. Bahkan saat jam yang aku ketahui telah pukul 2 malam, aku belum juga terlelap.

Menangis. Mencoba berpikir jernih dari apa yang kudengar kemarin malam dari wanita yang selama ini kuhormati sebagai ibuku. Mungkinkah aku mengartikannya dengan keliru? Mungkin Mama hanya menganggap Nindy sebagai anak sendiri? Entahlah, aku sedang tidak mau mendengarkan penjelasan apapun saat ini.

Hingga disinilah aku sekarang. Sebuah stadion lama yang tak berpenghuni. Tak ada yang melihat aku menangis, marah, bahkan berteriak sekencang kencangnya disini.

Bau cat yang sudah lama dan telah terkelupas dari dinding, tercium beberapa kali. Bahkan tribun tribun yang sedang kududuki sangat berdebu sekali. Membuat noda kotor di celana jeans hitam yang kupakai.

Tadi pagi sekitar pukul setengah 5, saat orang rumah belum terbangun dari tidurnya, aku mengendap keluar rumah. Dengan hanya membawa ransel berisi ponsel dan dompet yang sangat minim nominal di dalamnya. Sempat tertidur sekitar 2 jam di tempat yang tidak layak digunakan sebagai tempat tidur ini.

Aku merasa tertekan dengan fakta fakta yang tak sengaja satu persatu kudengar dengan telingaku sendiri. Bosan dengan bantingan suara dan teriakan pertengkaran Mama dan Papa.

Naik sebuah bis kota, lalu turun dengan berjalan kaki caraku hingga sampai ke tempat ini. Tak ada satupun orang. Hanya pedagang kaki lima yang masih berjualan di sekitar stadion. Yang tentunya tidak mengetahui saat aku memasuki stadion ini tadi pagi.

Aku pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini ketika umurku 6 tahun seingatku. Saat ayah tidak sesibuk sekarang. Mengajakku berlari mengelilingi stadion ini. Ia bahkan menggendongku saat lelah. Aku ingat semua.

Ayahku menua, stadion ini juga menua. Ilalang, lumut, serta rumput gajah liar tumbuh dimana mana dengan tak terurus.

Mengingat ayahku... Membuatku terisak saat itu juga.

"Gue gak suka alur yang Tuhan kasih ke Gue" Aku mengusap kasar pelupuk mataku dengan lengan. "Ini nggak adil! Kenapa Gue harus terlahir di rahim yang sama dengan Nindy?! Ini semua nggak masuk akal!"

Aku sangat merasa tersakiti sekali. Lebih sakit rasanya daripada saat Alex memutuskan untuk meninggalkan persahabatan kita.

Author POV:

Pernahkah kalian merasa bahwa orang yang paling kalian percayai di dunia ini bahkan ternyata menghianatimu?

Mungkin itu yang dirasakan Zara sekarang. Duduk di salah satu tribun stadion lama, meneriakkan semua kekesalannya di hadapan bangku kotor tak berpenghuni dan rumput liar.

Zara bahkan tak habis pikir tentang orang tuanya yang pasti mencarinya saat ini. Saling menyalahkan satu sama lain tentang penyebab Zara kabur dari rumah. Atau Nindy yang berusaha meneleponnya sejak tadi untuk menanyakan kabar. Maupun Alex dan Dion yang tak bisa fokus pelajaran hanya karena mendapat kabar tentang Zara.

"Anak itu nekat banget sih" Begitu mungkin yang digumamkan Alex di dalam kelas berkali kali saat pelajaran berlangsung.

Beberapa kali hp Zara berbunyi. Notifikasi dari... Entah. Zara malas membacanya. Sekarang, yang Zara mau hanya menjauh dari kehidupan nyatanya. Sebentar saja. Untuk berusaha menerima kenyataan yang mau tidak mau harus ia terima. Cepat atau lambat. Harus. Tapi bukan sekarang.

Suara gemuruh kecil membuat Zara sontak memegang perutnya. Gadis dengan atasan merah dan jaket denim ini membuka dompet yang letaknya paling depan dari kantong kantong tas Zara.

20.000! Uang yang sangat cukup untuk membeli sebuah makanan hari ini. Setidaknya harus cukup untuk nanti malam.

Zara beranjak dari tempat duduknya. Menyipitkan mata, sebab cahaya matahari mulai terik. Melangkahkan kaki menuju pintu keluar stadion.

Beberapa pedagang kaki lima dan orang orang yang berolahraga di sekitar stadion nampak acuh. Lagipula penampilan Zara tak mencolok dari lainnya.

Zara melangkahkan kaki. Berjalan di trotoar jalan. Menjauh dari halaman stadion. Mencari warung makan yang sesuai seleranya untuk sarapan. Setidaknya ia harus memasukkan nasi ke perut.

Sekarang pukul 06. 50. Tak heran beberapa kali Zara melihat beberapa anak berlalu lalang menggunakan seragam sekolah. Membuat Zara terpaksa harus bersembunyi di balik pohon maupun di belakang pot tanaman saat siswa dengan memakai seragam sekolah yang sama dengannya terlihat melintas.

Apalagi saat dari kejauhan ia melihat Angel dengan motor maticnya datang dari arah berlawanan.

"Mati gue!" Zara menyembunyikan diri di balik pot bunga besar, lalu menyembulkan kepalanya saat dirasa sudah aman. Namun...

Bruk...

Seseorang menabrak Zara dengan cukup keras dari belakang saat perempuan itu menengokkan kepalanya keluar. Membuat Zara tersungkur ke depan. Terluka dibagian telapak tangan yang ia gunakan untuk menopang tubuhnya.

Kakinya yang pernah terluka karena pecahan gelas, tidak kuat menahan tabrakan antar badan yang Zara terima.

"Aw... Eh, sorry sorry. Gue nggak sengaja" Seorang perempuan di depan Zara, tersangka penabrakan, dengan sigap membersihkan telapak tangan Zara dari kerikil kerikil yang menempel. Bahkan terdepat sedikit lecet di sekitar telapak tangan.

Dengan menggunakan seragam yang Zara ketahui dari badgenya adalah siswi SMA Brawijaya.

"Lo... Temennya Dion yang waktu itu kan? Hei, kenalin gue Atha" Perempuan yang memperkenalkan diri sebagai Atha itu menyodorkan tangannya dan menyunggingkan senyuman ramah. Kalian bisa menyebutnya sok kenal.

"Gue..."

"Zara pasti. Dulu Dion udah ngenalin Lo ke temen temennya kok. Waktu di metropolis kalo Lo lupa. Gue vokalis bandnya" Ujar Atha sambil menyibakkan rambut lurus panjangnya itu ke belakang, sambil membantu Zara untuk berdiri.

"Lo... Bolos?" Tanya Zara pada Atha yang kini berusaha membersihkan rok seragamnya.

Atha mengangguk. "Gue tadi deg deg an. Sahabat gue, Bara, dia ngejar gue sampe gerbang. Cepeeet banget larinya. Sampe ngos ngosan. Tapi, nanti dia juga bakal bawain tas gue pulang sih. Hehe"

Zara mengamati wajah Atha. Perempuan ceria di depannya itu seakan tak punya beban. Bukankah hidupnya sangat bahagia hingga ia bisa tersenyum selepas itu?

"Lo libur?" Kali ini Atha yang bertanya.

Zara mengangguk pelan.

"Oke" Atha menggandeng telapak tangan Zara "Kalo gitu temenin gue bolos okey? Gue capek sekolah terus"

Setidaknya, Zara harus bisa membiasakan diri dengan orang baru di depannya ini. Untuk melupakan semua masalah yang kini ia lalui.

God,I Like Him [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang