45

239 10 4
                                    

&joy~































"Jika aku sudah tidak bernafas lagi. Apa akan ada airmata kesedihan yang jatuh untukku? Atau hanya airmata bualan? Akankah mereka merasa kehilangan? Akankah mereka merindukanku? Mengirimiku doa dan mendatangi makamku? Atau membiarkannya sampai liangku ditimbun mayat lain? Hikss... aku lelah tuhan... aku tahu. Diluaran sana banyak yang mengalami hidup lebih sulit dari aku. Tapi. Aku tidak berbohong. Ini menyakitkan."
-gumaman lirih tersebut terus ia luncurkan kala saat ini tubuhnya tengah terduduk lemah dirooftop rumahsakit.





Ya gadis itu! Bae sin raa. Atau araa.
Gadis cantik yang ceria. Namun tak seceria kelihatannya pada malam ini.
Saat sahabatnya sedang mengadakan rapat penting keluar negri bersama sang suami. Disitulah araa benar-benar sendiri. Hanya dokter choi yang saat ini sedia menemaninya.






Menatap beribu bintang yang ntah mengapa seperti memberinya kekuatan lewat cahaya cerahnya. Membuat tanpa disadari senyum araa ikut terpantri diwajah cantiknya.






"Aku mengerti araa-ah. Semua orang mempunyai tolak beban masing-masing. Jika hanya mengikuti banyak yang menderita dibanding dirimu. Maka itu hanyalah membuatmu semakin tertekan. Karna semua orang mempunyai jalan hidup masing-masing. Kau hebat tentu saja. Kau bisa menguasai dan mengalihkan semuanya dengan stabil. Jika anak lain akan menjadi urakan. Maka kau memilih menjadi anak baik."
-semangat dokter choi selaku dokter pesikeaternya.

"Kau tau dok. Aku hanya mengikuti naluri. Dan mengikuti segala perintah hati. Aku tetap tenang dan mengamuk membabi buta pada diriku saat aku sendiri. Dan dihadapan orang aku lebih memilih diam dan tenang. Karna aku tak ingin menyakiti siapapun. Jika sendari kecil hidupku berisi penolakan. Lantas untuk apa aku memancarkan kesedihan lagi? Toh mereka tidak akan mengerti."
-balas araa tetap tenang. Memandang jauh langit cerah diatas.

"Kau tau dok. Bukan sekali aku berfikir untuk berakhir. Bukan pula sekali aku berfikir untuk memberontak. Bahkan sering aku melakukan apapun sesukaku. Mengikuti semua keinginanku. Menjadi manusia egois yang sesungguhnya. Menjadi gadis kejam yang tak berperasaan pun aku pernah. Namun disaat aku berfikir untuk berakhir. Suara itu. Ingatan itu. Bahkan bisikan itu selalu membuatku enggan untuk melanjutkan niatku. Janjiku kepada ibuku membuatku semakin tersakiti tentu saja. Mati memang bukan jalannya. Namun mati juga yang membuatku ingin mengubah segalanya. Tapi janjiku seolah mengikatku untuk tetap didunia."




Dokter choi hanya menatap pasiennya dengan teliti. Tak berniat menyauti. Ia membawa tubuh mungil itu untuk bersandar pada bahunya. Mengelus surai sang gadis dengan sayang. Tidak ada maksud. Malah jatuhnya seperti ayah yang tengah mendengar curahan sang anak. Dokter choi hanya diam. Membiarkan araa bercerita sepuasnya. Dan akan berbicara pada saat yang tepat.






"Pada saat aku berusia 5 tahun. Aku bertanya-tanya. Siapa ayahku? Dimana dia. Namun bibi dan ibuku selalu bilang bahwa ayahku itu pria hebat yang tengah mencari nafkah. Sampai aku berusia 7 tahun pun aku enjoy dengan semuanya. Berulang kali ibuku dekat dengan pria untuk mencarikan ayah pengganti. Aku hanya diam. Tidak melakukan apapun. Tidak menolak tidak sepenuhnya menerima pula. Pada saat itu. Ibuku menyuruhku memanggil seorang pria dengan sebutan papa. Aku senang tentu saja. Aku nyaman dengannya. Sampai suatu hari. Mama dan papa berpisah. Ternyata papa memiliki istri sah. Saat itu aku baru tau sisi kehilangan pertama. Disusul bibiku meninggal dan suami bibiku yang kuanggap seperti papaku pun demikian. Mereka meninggal."
-jeda araa sembari menghela nafas.

"Dan tidak berapa lama. Ibuku kembali mengenalkan seorang pria. Yang ditolak keras oleh kakakku. Dan aku tetap diam. Tapi ada penolakan dari naluriku. Pria itu memang baik. Tapi dia tak menganggap kami. Dia hanya mencintai mama. Aku memanggilnya paman. Dia sempat perotes. Namun aku selalu bersikeras memanggilnya paman. Saat itu tidak ada yang special dalam hidupku. Hanya rumah tangga ibuku yang berantakan. Kakaku yang menjadi berandal. Ibuku yang mulai sakit-sakitan. Dan parahnya. Paman itu beralih kedunia perdukunan. Aku bukan tidak punya tuhan. Tapi aku juga tidak terlalu kuat dalam hal agama saat itu. Hingga kini. Ajaran yang kudapat dari agama pun sangat minim. Aku sempat berpindah beberapa kali mengikuti jejak ibuku."
-jeda lagi. Araa mulai tercekat mengingat semuanya.

DAMN LIFE! (NC) (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang