Damar pov
Aku tidak tahu kenapa aku bisa kebingungan dan kacau seperti ini. Dikantor, sebesar apapun masalah yang muncul bisa kuhadapi dengan tenang. Baik masalah karyawan, masalah dengan sub lain maupun masalah yang melibatkan perusahaan lain.
Tapi sejak bertemu Rewinta seolah ketenangan itu lenyap. Yang muncul justru bahagia yang bercampur kecemasan. Bahagia ketika kutahu Rewinta masih sendiri. Cemas karena ternyata dia belum memberikan jawaban atas pernyataanku padanya. Apakah Rewinta menganggapku bergurau ya. Ah...Baru kusadari bahwa Rewinta telah beberapa waktu meninggalkanku dikantin. Setelah membayar ke kasir aku menyusulnya ke kamar nenekku. Seketika lunglai seluruh sendi tubuhku ketika Bi Asih memberitahuku bahwa Rewinta sudah pulang.
"Bagaimana raut wajahnya, Bi?" aku ingin tahu apakah Rewinta terlihat sedih, marah atau ekspresi lain ketika berpamitan dengan Bi Asih.
"Piye to maksudmu?" Bi Asih belum paham yang kumaksud.
"Waktu Wiwit pulang tadi apa terlihat sedih, gembira atau bagaimana, begitu maksudnya Bi."
"Ooo...biasa saja. Dia pamit pulang karena banyak tugas kuliah yang harus diselesaikan. Lha kamu ke mana to kok ngga bareng sama Winta?"
"Aku tadi masih bayar dikasir ketika Wiwit balik kesini," jawabku asal
"lha kok jaraknya lama sekali. Kamu tadi terus kemana?" Waduh ketahuan lagi deh sama Bibiku yang sangat teliti ini.
Kugandeng tangan Bi Asih dan kuajak menjauh dari ranjang nenekku. Duduk disofa kamar rawat inap aku ceritakan semua yang terjadi di kantin. Bi Asih mengangguk-angguk.
"Bi, terus terang hatiku sekarang ini tidak karu-karuan. Aku merasa terlalu tergesa-gesa mengungkapkan semua itu. Kalau Rewinta marah bagaimana Bi? Padahal besok lusa aku harus kembali ke Jakarta." Hanya kepada Bi Asih aku berani berterus terang, meminta pertimbangan dengan kondisiku sekarang ini. Karena hanya Bi Asih yang selama ini mendukung pilihanku. Sedang orangtuaku di Jakarta memang belum tahu.
"Tenang, Le. Rewinta tidak terlihat marah kok tadi. Biasa saja. Mungkin dia sok dengan pernyataanmu. Jalin lagi komunikasimu dengan Rewinta. Kamu kan punya no hp nya. Cobalah tanya kabarnya. Sampaikan bahwa kamu sungguh-sungguh dengan pernyataanmu dan siap menerima apapun jawabannya. Tapi sms atau telponnya cari waktu pas dia longgar," Bi Asih memberikan suportnya padaku.
"Tapi menurut Bibi kata-kata Wiwit 'Jangan, cari yang lain saja' itu bagaimana?"
" Dia belum siap dan dia juga belum terikat dengan siapapun. Kalau kamu memang ingin segera menikah, kamu bisa mencari gadis lain yang lebih dari Rewinta. Mungkin seperti itu maksudnya. Bibi sangat memahami kondisinya, Mar. Dia ingin menyelesaikan apa yang dihadapinya sekarang ini. Rewinta itu untuk kuliah saja masih harus berjuang. Dia itu anak nomer dua tapi harus banyak mengalah dengan kakaknya. Kakaknya full fasilitas dari ibunya. Kalau kamu serius, bersabarlah. Mohonlah kepada Allah Swt agar dia jadi jodohmu kelak. Paling tidak Rewinta sudah tahu bahwa kamu mencintainya"
"Aku ingin menikahinya, Bi. Sekarang juga kalau dia mau. Aku ingin memberi apa yang tidak bisa diberikan orangtuanya," jawabku sungguh-sungguh.
Bi Asih menggeleng.
"Bibi mendukung niatmu itu, tapi kalau kata-kata Winta seperti yang sampaikan tadi, sepertinya kamu masih harus bersabar. Karena terlalu rumit untuk mengurainya sekarang. Daripada kamu tak mendapatkannya sama sekali." Bi Asih memegang pundakku.Aku tidak tahu apa yang dialami Rewinta sebenarnya. Tapi paling tidak dia tahu aku serius dengan kata-kataku. Nanti malam saja aku telpon dia. Aku ingin menegaskan lagi bahwa aku serius. Kapanpun dia siap aku akan datang melamarnya.
Malam Hari
Kenapa telponku tidak diangkat ya.. aku jadi gelisah. Jangan-jangan dia benar-benar marah. Sudah beberapa kali aku menelpon Rewinta, nada dering menandakan bahwa telponku telah tersambung tapi tidak diangkat sama sekali. Ayo Wit..Please angkat telponnya.
Aaaah... aku benar-benar frustasi. Aku kembali duduk dikursi taman Rumah Sakit. Suasana agak sepi disini. Kebanyakan dari para pembesuk atau penunggu berada di kamar pasien. Kalau pun ada yang ditaman biasanya orang yang ingin merokok. Aku sendiri tidak merokok. Hidup sehat adalah motoku sejak dulu. Olahraga walaupun hanya joging, rutin kulakukan setiap hari.
Sebaiknya kutunggu beberapa saat, mungkin hp nya tertinggal atau apalah, aku berusaha berprasangka baik. Oya alhamdulillah besok nenekku sudah boleh pulang. Keadaannya sudah jauh lebih baik dibanding saat beliau baru masuk rumah sakit kemarin. Sehingga ketika aku kembali ke Jakarta nanti, aku bisa lebih tenang dan tinggal memantau keadaannya saja. Ibuku setiap hari juga menghubungiku atau Bibi untuk mengetahui keadaan nenek.
Ibu Bapakku pedagang dan mempunyai toko agen sembako yang langsung dihandle oleh beliau bedua. Sudah sering aku sarankan untuk mengambil karyawan lamanya untuk menggantikan beliau dan beliau tinggal mengawasinya saja. Tapi mereka tidak bersedia. Malah mereka terutama ibuku menyampaikan, nanti saja kalau sudah punya menantu. Mereka akan melatih menantunya agar bisa menggantikannya. Aah kalau sudah itu yang dibahas, aku hanya garuk-garuk kepala.
Sekali lagi berusaha kutelpon Wiwit. Tapi kali ini benar-benar membuatku panik. Bukan nada sambung seperti tadi tapi hp Wiwit non aktif. Ya Allah..bagaimana ini. Padahal lusa aku sudah kembali ke Jakarta. Apakah pernyataanku tadi telah menyakiti hatinya? Bagaimana caraku untuk bertemu dengannya besok? Haruskah aku mencarinya di kampus? Ya Allah.. sungguh Rewinta telah membuatku kacau balau.
###
"Kenapa to lee? Bawaanmu kok tidak tenang. Ada masalah apa lagi?" tanya Bi Asih melihatku beberapa kali melihat hp dan berjalan hilir mudik dikamar rawat nenekku.
"HP Rewinta dimatikan," jawabku singkat
"Ya Allah, wong begitu saja kok bingung," Bibiku tertawa kecil.
'Tapi tadi waktu aku telpon masih ada nada panggil walaupun tdk diangkat.." kataku tanpa bisa menyembunyikan kecemasan. Bibi kembali tertawa.
"Ya siapa tahu baterainya pas habis." Kata Bi Asih menenangkan.. bisa juga ya. Tapi hatiku tidak sepakat dengan alasan itu.
"Lusa aku sudah kembali ke Jakarta. Bagaimana caraku menghubungi Rewinta, Bi?" aku benar-benar bodoh karena Wiwit. Hal sepele begini saja tak mampu kupecahkan."Oalah lee... kamu itu sudah dewasa. Mosok menghubungi Winta sj kok tanya Bibi???." Yaah beginilah nasib orang yang tersandung cinta bukan diberi solusi malah jadi bahan ejekan.
"Karena tak mudah menghubunginya. Saya juga ngga mungkin kerumahnya, Bi. Atau kekampusnya saja ya Bi..?' aku minta pertimbangan Bibiku.
"Yah itulah masalahnya. Kalau kamu anak karang taruna kerumahnya bisa dengan banyak alasan. tapi kalo kamu yang ngga pernah kerumah kok tiba-tiba mencari Winta, bisa diinterogasi ibunya."
"Apa ibu Winta masih galak kayak dulu kah Bi?" rasa-rasanya aku mau nekat kerumahnya saja..
"Dulu galak tapi tidak seperti sekarang. Kayak orang kesurupan kalau berhubungan dengan Winta. Padahal kalau sama si Ratri ngga begitu. Teman-teman Ratri bebas datang kerumahnya. Tapi ya itu tadi. Jadinya malah banyak menghamburkan uang ibunya. Tapi yang disalahkan Winta... pancene wong bingung si Nunuk iku.." Bibi terbawa emosi seolah merasakan ketidak adilan dirumah gadis yang membuatku setengah gila.
"Trus bagaimana Bi?" pertanyaanku tetap sama.
"Ditunggu sampai besok. Semoga hanya karena baterainya habis saja. Dan kamu jangan lupa, besok nenek sudah boleh pulang lho.. tolong disiapkan semua," kata Bibi sambil membetulkan letak selimut nenek.
"Insyaallah Bi.."Aku berjalan kearah sofa dan merebahkan badanku disana. Sepertinya malam ini aku tidak akan bisa tidur tenang.
Wiwit kenapa ini kau lakukan padaku. Kalaupun kamu tidak menerima apa yang kukatakan kemarin, setidaknya kita masih bisa menjadi teman. Sebegitu rumitnyakah kehidupanmu. Tapi mengapa kamu bisa aktif di karang taruna, ngobrol dengan Bagus, mengurusi keperluan listrik warga tapi hanya untuk datang kerumahmu saja susah sekali.
Ah aku jadi ingat ketika kemarin bersama Bagus dan Anto saat mengantar Wiwit. Dia tidak mau diantar sampai rumah. Hanya sampai tikungan saja. Dan sepertinya hal itu sudah dipahami kedua temanku, Bagus dan Anto. Hanya aku dan Bagus yang terus mengikuti langkah Rewinta sampai didepan rumahnya, diujung gang. Dan pulangnya pun tidak boleh lebih dari jam 8 malam. Sehingga kalo sedang ada pertemuan malam hari, Bagus selalu menutup pertemuannya jam 8 kurang 15 menit. Karena Rewinta pasti langsung pulang kalau waktu telah mendekati angka 8 malam. Sedemikian perhatiannya si Bagus pada keadaan Rewinta.
Mataku terasa berat. Tanda kantuk telah menyerangku secara perlahan. Besok pagi aku akan menelpon Rewinta lagi. Semoga sebelum aku kembali ke Jakarta, aku bisa mendengarkan suaranya apalagi kalau bisa bertemu dengannya. Ya Allah mudahkan aku untuk bertemu dengan gadis teman masa kecilku ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejar Cinta Halalmu
RomanceKau adalah sahabat kecilku Saat ku harus pergi jauh Kenapa bayangmu tak bisa hilang dari ingatanku Sampai datang saat itu Dan aku tak mau menyia-nyiakannya Damar Satria Anugrah Tiba-tiba kau hadir Dan tak bisa kupungkiri Bahwa hatiku telah kau bawa...