Rewinta memarkir sepeda motornya diteras rumah. Tak ada sesuatu yang mencurigakan atau spesial dirumahnya. Biasa saja.
Ia masuk rumah dan mencari bapaknya.
Di ruang tamu. Sepi.
Di toko kecil tempat jualan ibunya yang letaknya disamping ruang tamu, ternyata toko sudah ditutup.
Ah.. Kemana mereka ya.
Ia melangkah ke teras belakang rumah. Sayup-sayup terdengar suara tangis perempuan. Siapa yang menangis itu? Ibu? Ada apa?
Rewinta bergegas mendatangi suara tangisan diserambi belakang rumah.
Dilihatnya kakaknya sedang menangis dalam pelukan ibunya yang juga menangis. Bapaknya duduk gelisah agak jauh dari keduanya namun pandangannya geram mengarah pada Ratri.
Rewinta berjalan mendekati bapaknya.
"Ada apa Pak?" tanya Rewinta bingung.
Bapaknya menghela nafas. Tangan kirinya menyapu rambutnya yang sudah beruban berulang kali.
"Pak ada apa, mbak Ratri kok nangis?" Apakah ada pertengkaran antara mereka, hatinya terus menebak-nebak. Rewinta duduk disebelah Bapaknya. Pak Kartono mengelus lembut kepala Rewinta.
"Kamu satu-satunya harapan Bapak. Jaga dirimu yo Nduk....," tatapannya penuh harap. Rewinta memeluk Bapaknya. Ia belum tahu apa yang terjadi. Tetapi melihat pemandangan yang memilukan ini, ia ikut menangis.
"Insyaallah Pak..," jawabnya terisak.
"Sebenarnya ada apa to Pak?,"
Pak Kartono menghela nafas. Terasa berat untuk mengucapkan, "Mbakyumu hamil....," kata laki-laki itu lirih. Seketika tubuh Rewinta menegang. Sejurus kemudian ia mempererat pelukannya. Hatinya ikut hancur tercabik. Merasakan betapa berat ujian bapak ibunya. Bagaimana masyarakat memandang keluarganya. Astaghfirullah.
"Astagjfirullahal 'adziim... Astaghfirullaah...," Rewinta terus melafadzkan istighfar. Kenapa keluargaku yang menerima ujian ini. Ia melepas pelukannya. Ia pandangi ibu dan kakaknya yang masih menangis.
Ratri masih menangis dipelukan ibunya. Bahagianya kamu mb. Dalam keadaan mencoreng nama keluarga kamu masih dapat pelukan hangat seorang ibu. Hidup begitu mudah. Fasilitas tersedia. Tapi justru kamu tidak mampu bersyukur. Coba kalo yang mengalami semua ini aku. Naudzubillaahi min dzalik. Tangan yang kini mengelusmu lembut akan begitu kasar menarik rambutku. Mata yang kini mengalirkan air mata, akan menatapku nanar penuh amarah. Bahkan kaki itu bisa jadi sudah bersarang ke wajahku. Ya Allah lindungi aku dari segala macam cobaan yang aku tak mampu menanggungnya. Berikanlah aku petunjuk agar tetap berada dijalanMu yang lurus...
"Trus bagaimana Pak? Apa yang akan Bapak lakukan?" Rewinta menatap bapaknya sedih.
" Bapak belum bisa berpikir, Nduk. Bapak akan kerumah pak RT dulu minta pertimbangan," kata pak Kartono sambil mengelus punggung Rewinta. "Kamu bersihkan rumah dan jangan kemana-mana," pak Kartono beranjak dari tempat duduknya. Niatnya ingin kerumah pak RT untuk minta pendapat.Rewinta pov
Ya Allah ujian kali ini begitu berat. Kalau hanya aku yang mengalami, seperti selama ini, aku masih mampu menahannya. Tapi saat keluargaku yang harus menerima, aku tak bisa membayangkan.
Bapak sudah beberapa saat lalu meninggalkan rumah. Ke pak RT katanya. Mungkin bapak minta pendapat pak RT dengan aib yang menimpa keluarga kami.
Ruang tamu sudah kusapu bersih, lanjut ruang-ruang lain seperti perintah bapak.
Aku ke kamar mbak Ratri yang ternyata
kakakku itu sudah ada disana. Matanya masih sembab. Ada marah yang menggumpal di dadaku saat melihatnya. Ada kepedihan yang menyayat saat mengingatkan semua hal antara aku dan dia. Bukankah seharusnya dia memanfaatkan kasih sayang dan kemudahan yang melimpah dari ibu untuk segera menyelesaikan kuliahnya. Bukan membuat aib yang mencoreng nama keluarga.
"Sudah mbak. Semua sudah menjadi bubur. Bukan hanya mbak Ratri yang sedih. Seisi rumah ini sedih...malu," Ya Allah bantu aku menahan emosi.
"Buat apa menangis...wong semua sudah mbak Ratri niati..," Astaghfirullah. Membayangkan wajah bapak yang kusut, ingin rasanya menampar wajah mbakyuku ini.
"Kenapa nangisnya baru sekarang, setelah semua terjadi. Wis kuliah ki mbok yo sing rada pinter sithik... Semua fasilitas sudah dikasih ngga dipakai yang baik-baik malah nggladrah..," aku benar-benar tidak tahan dengan semua ini. Kemarahanku karena ingat bapak yang aku tak tau bagaimana perasaannya kini.. Ya Allah kuatkan bapakku menerima musibah ini.
Aku meninggalkan kamar kakakku ketika ibu masuk ke kamar itu. Aku tidak mau berurusan dengan ibuku yang masih saja membela kakakku yang jelas-jelas sudah mencoreng nama keluarga.
Aku mandi lanjut sholat dhuhur. Pikiran kalut seperti ini terasa agak ringan setelah mandi dan sholat.
Ada derap kaki masuk ke rumah.
Selanjutnya aku dengar suara bapak berbicara dengan ibu. Bukan niat nguping, tapi aku ingin tahu apa yang sudah di sarankan pak RT untuk keluarga kami selanjutnya.
"Bu, aku dan pak RT mau ke rumah Seno. Dia harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Tapi sebelum aku kesana, tolong Ratri dan Winta suruh kesini" suara bapak terdengar nyaring.
Aku keluar dari kamarku menemui bapak.
"Ya Pak..," kataku
" Duduk sini Win.." bapak menunjuk kursi disebelahnya.
Mbak Ratri dan ibu menyusul kemudian.
Kami semua diam menunggu apa yang akan disampaikan bapak. Ratri menunduk tidak berani menatap bapak dan tangannya memainkan ujung hem nya.
"Dengar semua..," Bapak membuka pembicaraan. Suaranya penuh penekanan karena menahan beban hati yang luar biasa beratnya. Kami semua diam membeku, menunggu kalimat bapak selanjutnya.
" Apa yang kita alami ini adalah kesalahan bapak.." Bapak menyapu wajahnya yang tak berkeringat. " Bapak tidak bisa mendidik Ratri sehingga dia tidak bisa membedakan mana yang benar untuk diikuti dan mana yang salah untuk dijauhi," Lalu bapak mengusap rambutku lembut. "Jadikan ini pelajaran untukmu ya nduk. Karena tinggal kamu satu-satunya harapan keluarga ini. Biarlah ini bapak yang tanggung, semoga Gusti paring pangapura memberi ampun kepada Bapak," Mbak Ratri masih menundukkan wajahnya, sama sekali tak berani menatap wajah bapak. " Nasi sudah menjadi bubur.. tapi agar bubur itu tidak semakin membusuk dan mencoreng keluarga ini lebih hina, bapak ingin bertanya kepada Ratri....," Kalimat Bapak menggantung seolah menuggu reaksi mbakyuku itu.
"Tri..selain dengan Seno, dengan siapa lagi kamu berhubungan?" Suara bapak agak keras tapi masih mampu menahan emosi.
"Mboten wonten Pak,' jawab mbak Ratri pelan. Ibu mendekati mbak Ratri dan mengelus rambutnya. Aku memalingkan wajahku memandang bapak. Menekan gemuruh dadaku. Sakit.
"Tenaan?" Tanya bapak tegas.
"Betul, Pak," jawab mbak Ratri dengan suara gemetar.
"Bicara terus terang sama bapakmu nduk," ibu menegaskan lagi.
"Benar, Bu," jawab mbak Ratri memandang wajah ibuku yang mengelus lembut kepalanya.
"Jangan sampai nanti bapak kerumah Seno minta tanggung jawabnya dia membantah karena kamu sudah berhubungan dengan laki-laki lain," kata bapak tegas.
"Saestu, Pak. Pacar Ratri hanya mas Seno..,"
"Yo wis. Bapak sama Pak RT kerumah Seno dulu..," Bapak beranjak dari tempat duduknya. Sebelum melangkah bapak mengelus rambutku. Helaan nafasnya terdengar olehku. Musibah ini memang sangat berat. Apalagi Bapak yang harus mengurus semuanya.
Aku meninggalkan ruang tamu yang disana masih ada ibu dan mbakyuku. Ibu yang terus mengelus punggung Mbak Ratri.
Ya Allah, aku menghela nafasku. Menyebut namaMU hati terasa tenang. Kalaulah hidupku begitu sulit, selama kehormatan masih bisa kugenggam, masih ada yang kusyukuri.
##
Rewinta duduk dipinggir ranjangnya. Berkali-kali ia menghela nafas. Ia sedang mempertimbangkan sesuatu yang sejak tadi mengganggu pikirannya sejak tahu musibah yang menimpa keluarganya.
Ia beranjak menuju meja belajarnya. Ah bukan meja belajar. Hanya satu meja biasa yang sehari-harinya ia gunakan untuk belajar dan mengerjakan tugasnya. Ia ambil buku di tas kuliahnya. Dia ambil buku dan disobek bagian tengahnya. Bismillaah.. sekali lagi ia menghela nafas. Kata demi kata ia tulis dilembar kertas itu. Ketika semua sudah selesai, di lipat dan Rewinta masukkan amplop.
##
"Hey.. kalian dengar ngga berita hari ini?" Tanya Lena kepada Sisi dan Anto yang sedang menyiapkan rapat karang taruna malam ini. Ya hari ini Bagus mengundang pengurus Karang Taruna untuk membicarakan agenda peringatan hari Kebangkitan Nasional didesa mereka.
" Berita apa?. Di tivi? Atau kabar dari kelurahan?" Tanya Sisi sambil menyapu lantai kantor mereka.
"Aduh bagaimana sih kamu Si. Kabar heboh gini masak ngga tahu to..," Leni gemes.
"Kabar apa Len. Gak usah nggosip ..," Anto ikut nimbrung.
"Ngga penting gimana An. Ini menyangkut salah satu keluarga pengurus karang taruna kita lho..," Leni jengkel dengan sikap Anto yang ngga peka.
"Walaupun menyangkut keluarga pengurus karang taruna emangnya kenapa? Kalo tidak mempengaruhi program kita apa ya harus kita ributkan?" Anto tetap berusaha mengalihkan pembicaraan Leni. Anto sangat tahu arah pembicaraan Leni karena ia tadi sore juga mendapat informasi dari mulut ke mulut tentang Ratri kakak Rewinta. Tapi menurut Anto itu tidak penting karena masalah itu adalah masalah keluarga Rewinta dan tidak ada manfaatnya ikut membahas.
"Ee ee kata siapa tidak penting An. Ini juga menyangkut nama baik karang taruna kita lho..," sanggah Leni.
"Assalamualaikum..," tiba-tiba Rewinta sudah muncul diantara mereka. Ia tersenyum.
"Eh Winta, aku kok ngga tau kamu datang..," Leni gugup. "Ini lagi persiapan semua..,"
"Aku bantu apa nih?" Tanya Rewinta seolah tidak mendengar pembicaraan Leni dengan teman-temannya di kantor mereka.
""Udah selesai kok Win. Tinggal tunggu pak Ketua," jawab Sisi. Matanya melihat kearah Leni. Leni yang tau dilihat Sisi, ia mengangkat bahunya dengan wajah menyesal.
"Assalamualaikum..," Bagus masuk bergabung dengan teman-temannya yang satu per satu mengambil tempat duduknya. Pandangannya tertuju ke arah Rewinta. Gadis itu sekilas bertatapan dengan pandangan Bagus selanjutnya Rewinta lebih menyibukkan diri mengambil buku agenda rapat dan alat tulisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejar Cinta Halalmu
RomanceKau adalah sahabat kecilku Saat ku harus pergi jauh Kenapa bayangmu tak bisa hilang dari ingatanku Sampai datang saat itu Dan aku tak mau menyia-nyiakannya Damar Satria Anugrah Tiba-tiba kau hadir Dan tak bisa kupungkiri Bahwa hatiku telah kau bawa...