" Hey.. Kalian dari mana dan mau kemana?" tanya Damar melihat teman-temannya berjalan beriringan apalagi ada Rewinta diantara mereka. Membuat Damar sedikit berpikir dan ada getar cemburu.
" Rapat Karang Taruna di rumahku. Ini sedang mengantar Rewinta pulang. Ya Win?" kata Anto sambil cengar cengir lucu.
"Kamu ngga berani pulang sendiri, Wit?" Damar mengernyitkan dahinya sambil memandang Rewinta sambil menyungging senyum.
"Beranilaah..anak dua ini saja yang sok baik hati dan sok peduli" Rewinta menjawab dengan bersungut-sungut menunjukkan wajah kesal.
Damar tersenyum nakal.
"Kalo begitu, aku ikut sok baik hati juga deh... Aku ikut ngantar kamu ya Wit?,"
Lalu Damar menoleh kearah mobilnya. "Mat, kamu pulang duluan ya.." Perintah Damar kepada Rahmat yang seharian telah mengantarnya menjenguk nenek Sarmi dan beberapa tempat yang ingin dikunjunginya.
"Iya Pak," jawab Rahmat dan mulai melajukan mobil majikannya meninggalkan tempat itu.
"Wah hebat kamu, Mar. Sudah punya mobil plus sopirnya sekalian. Sukses deh kamu," kata Anto dengan nada kagum.
"Iya Mar. Hebat kamu. Kapan kamu pulang? Kok ngga main kerumahku?" Bagus menimpali perkataan Anto.
Bagaimanapun mereka adalah teman dimasa kecil. Seberapapun singkatnya waktu kebersamaan mereka, tetap saja ada kenangan yang berkesan dan tak mudah dihilangkan.
"Kemarin Subuh. Maaf aku belum sempat main ke rumah kalian. Baru datang, istirahat sebentar trus langsung membawa nenekku ke rumah sakit. Bagaimana kabar kalian? Tambah gagah saja kamu Gus..An" berkata begitu tangan Damar meninju perut Bagus.
"Ya beginilah. Seperti yang kau lihat. Tetap di desa dan jadi orang desa. Beda dengan kamu, Mar... Sudah jadi orang kota." Bagus merangkul Damar yang sedikit lebih tinggi darinya.
Mereka terus berjalan beriringan. Berbincang dan bercanda mengenang masa kecil mereka. Menanyakan kabar teman-teman mereka yang sudah berpencar dan hal yang membuat Damar senang adalah ketika Damar bisa bertemu kembali dengan Rewinta.###
Sepulang mengantar Rewinta, Damar dan kedua temannya berkumpul digardu ronda perempatan jalan kampung mereka. Ada beberapa warga desa yang duduk disitu. Menikmati secangkir kopi dari warung disebelahnya sambil menonton televisi yg sengaja di pasang digardu ronda. Melihat mereka datang, salah satu dari Bapak-bapak itu menyapa.
" Gus.. An dari mana?" tanya pak Tarmin melihat bertiga mendekati pos ronda.
" Dari mengantar Rewinta, Pak," jawab Bagus sambil duduk disebelah pak Tarmin disusul Anto dan Damar.
" Oo.. Kenapa kok sampai diantar?" tanya kang Lasdi menyambung pertanyaan pak Tarmin.
" Tidak kenapa-kenapa kok, Kang. Tadi habis kumpul-kumpul merekap pembayaran listrik warga. Besok mau kami bayarkan ke PLN. Jadi kami rekap dan sekalian di cek. Kasihan Rewinta kalo pulang sendiri. Jadi kami antar" Anto menjelaskan. Kang Lasdi manggut-manggut paham dengan penjelasan Anto. Bapak-bapak ini tahu betul kegiatan pemuda kampungnya. Anak-anak muda yg punya gagasan dan mau bergerak untuk kemajuan desanya. Sementara bagi Damar, percakapan itu adalah informasi tentang aktivitas Rewinta. Dan dia semakin kagum dengan Rewinta. Sore bertemu dengannya di alun-alun dan malamnya Rewinta masih menyisihkan waktu utk membantu
warga.
"Lha terus yg disebelahmu itu siapa, An?" kang Lasdi baru sadar ada satu sosok asing diantara kedua pemuda itu.
Anto dan Bagus tertawa.
"Masak ngga kenal kang?" tanya Bagus yg membuat kang Lasdi mengerutkan keningnya.
"Kulo Damar, kang.." kata Damar. Kasihan kang Lasdi keningnya sampai berkerut berusaha mengingat siapa dirinya.
"Masyaallah.. Damar cucunya mbah Sarmi?" tanya kang Lasdi seolah tak percaya. Kang Lasdi tersenyum memandingi Damar sambil geleng kepala. Dulu Damar badannya kecil. Kini perawakannya gagah, kulitnya bersih dan pakaian yg dipakai pasti berharga mahal. Tapi ada yang tak berubah dari diri Damar. Sikap santun dan ramahnya.
"Inggih, kang." Jawab Damar sambil menyalami kang Lasdi dan Pak Tarmin.
"Kapan datang, Le? Apa kamu pulang karena nenekmu sakit itu?" tanya Pak. Tarmin.
"Kemarin malam, Pak. Inggih Pak. Nenek sakit jadi saya diminta pulang untuk memastikan keadaannya. Alhamdulillah sudah agak baikan. Nyuwun doanipun." Kembali Pak Tarmin kagum pada Damar yg tak melupakan basa jawa krama ketika berbicara dengan orangtua. Walaupun tidak sepenuhnya tapi penggunaan kalimat yang tepat menunjukkan bahwa Damar masih memelihara bahasa leluhurnya.
"Ya tak doakan semoga nenekmu lekas sembuh. Lagian siapa lagi Le yang akan wira wiri dengan kondisi nenekmu sekarang ini kalau bukan kamu. Dan tepat sekali ibumu nyuruh kamu pulang," kata pak Tarmin panjang lebar.
"Amiiin. Maturnuwun pak Tarmin," jawab Damar sambil tersenyum.
"Yo wis aku tak pulang dulu. Silakan kalau mau ngobrol disini. Melepas rindu teman lama, iyo to Gus? Paling sebentar lagi yang giliran jaga akan datang kesini. Ayo Di kamu pulang apa nemani anak-anak ini?" kata pak Tarmin sambil mengajak kang Lasdi pulang.
"Nggih kulo sekalian wangsul Pak Tarmin," kang Lasdi pun beranjak meninggalkan pos ronda mengikuti jalannya pak Tarmin.#####
Tidur Damar tadi malam nyenyak sekali. Mungkin karena pagi hingga malam hari banyak yang harus Damar lakukan. Sampai pada akhirnya bertemu dengan teman bermainnya di waktu kecil. Syukur Damar tak lupa meminta nomor handphone mereka sekaligus no HP Rewinta. Walaupun untuk itu Damar tidak hanya meminta no HP Bagus, Anto dan Rewinta tetapi Damar juga meminta no HP beberapa temannya yang tak hadir tadi malam. Hanya strategi saja agar niat khususnya pada Rewinta tak terbaca teman-temannya. Apalagi Bagus. Bukan karena takut atau apa. Damar hanya ingin menjaga hubungan pertemanan mereka tetap baik sebelum semuanya jelas.
Selepas bersih-bersih, Damar duduk diteras ditemani secangkir kopi hitam. Ia buatnya sendiri sambil memandang kearah halaman rumah neneknya. Pandangannya tertuju pada pohon mangga yang tumbuh tinggi. Saat kecil dulu Damar suka main ayunan di pohon mangga itu. Kakeknya membuatkan ayunan dari tali yang tempat duduknya dari papan kayu. Rewinta juga suka bermain disana. Damar suka membantu mengayunkan ayunan itu. Kadang Damar menggoda Rewinta. Ayunan Rewinta di dorong dengan kencang sampai Rewinta teriak-teriak ketakutan. Sedangkan Damar tertawa terpingkal-pingkal melihat mimik lucu Rewinta yang ketakutan.
“ Kenapa senyum-senyum sendiri, Pak?” suara Rahmat mengagetkan Damar dari lamunannya.
“ Eh kamu Mat. Dari mana?” Damar berusaha menguasai dirinya agar tak terbaca oleh Rahmat kegugupannya.
“ Buat kopi, Pak. Enak ya pak suasana didesa ini,” jawab Rahmat sambil duduk di lincak (bangku panjang dari bambu) mensejajari Damar.
“ Kamu sendiri kan orang desa. Memangnya desamu ngga seperti ini?” tanya Damar sambil menyeruput kopinya.
“ Desa saya gersang, Pak. Kalau siang begini panasnya luar biasa. Pak ... kenapa tadi senyum-senyum sendiri? Ada makhluk ghoib yang lucu ya Pak.”
Ah ternyata Damar tak berhasil mengalihkan pikiran Rahmat yang terlanjur melihat dirinya melamun dan terbawa lamunannya.
“ Hem..mengingat masa kecil Mat. Dipohon mangga itu dulu aku suka bermain dengan teman-temanku. Dulu dipohon mangga itu ada ayunan yang dibuat kakekku. Kami suka bermain ayunan bergantian. Ada yang pernah aku ayun dengan kencang sampai anak itu teriak-teriak ketakutan hahaha, “ Damar menikmati sekali ceritanya sampai tanpa sadar ia tertawa seolah peristiwa itu dia alami. Rahmat menyimaknya sebagai kenangan indah majikannya dan sepertinya sangat special.
“ Yang diayun cewek apa cowok, Pak?” mimik Rahmat serius saat menanyakan itu tanpa disadari oleh Damar.
“ Ceweklah....”, jawabnya sambil terus tersenyum atau tepatnya menahan tawa gelinya.
“Sepertinya...cewek itu special ya Pak?,” Rahmat sangat berhati-hati agar Damar tidak tersinggung dan menganggapnya terlalu lancang menanyakan hal ini pada Damar.
Glek… Damar sadar bahwa gesturnya terbaca oleh Rahmat. Tapi kepalang basah toh Rahmat walaupun sopir pribadi, sudah dia anggap sebagai saudaranya sendiri.
“ Begitulah....” jawab Damar sambil melirik Rahmat yang sesekali menatapnya.
“ Sampai sekarang?” Rahmat sudah seperti detektif saja...
Berpikir sejenak dan sambil menarik nafas..
“ Hhhmmm…bagaimana ya. Sepertinya begitu,” jawab Damar ragu. Membaca hatinya yang masih menyimpan kenangan indah dan perasaan yang masih dipendamnya sampai sekarang. Membayangkan juga apakah Rewinta memiliki rasa yang sama dengannya atau parahnya Rewinta justrus sudah punya tambatan hati. Aahh hati Damar semakin resah.
“Kenapa tidak disampaikan saja, Pak?” Rahmat semakin penasaran.
“Ngga berani, Mat,” jawab Damar jujur.
“Masyaallah… Pak Damar yang seorang manajer, disegani stafnya dan banyak dikagumi kaum wanita dimanapun berada ternyata seorang penakut,” Antara percaya dan tidak Rahmat sangat heran dengan bosnya ini.
“ Ini masalah perasaan, masalah hati, ada banyak pertimbangan, Mat,” Damar menghela nafas, resah.
“Takut ditolak.?” Biarlah Rahmat dianggap lancang oleh bosnya asal dia bisa membantu memecahkan permasalahan yang dialami Damar.
"Ya boleh dibilang begitu. Karena ngga ada penggantinya. Susah pindah kelain hati..” Damar sadar betul bahwa hal tersebut tak seharusnya terjadi. Move on sekian tahun dari seorang gadis desa ternyata tidak mudah. Bahkan saat banyak perempuan cantik yang menawarkan perhatian padanya, Damar tak goyah. Parahnya rasa hatinya semakin menguat saat bertemu Rewinta dan entah benar atau tidak sepertinya Rewinta masih sendiri.
“Bapak kan belum mencoba” Rahmat berusaha membuka jalan untuk Damar barangkali bisa menjadi solusi.
"Aku belum berani. Sangat beresiko karena sembarangan menyampaikan. Biarlah seperti ini dulu. Semoga nanti ada kesempatan untuk menyampaikan padanya," Tatapan Damar menerawang. Berharap saat itu betul-betul hadir dan cintanya tak bertepuk sebelah tangan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejar Cinta Halalmu
RomanceKau adalah sahabat kecilku Saat ku harus pergi jauh Kenapa bayangmu tak bisa hilang dari ingatanku Sampai datang saat itu Dan aku tak mau menyia-nyiakannya Damar Satria Anugrah Tiba-tiba kau hadir Dan tak bisa kupungkiri Bahwa hatiku telah kau bawa...