ke bioskop sama om

47 2 1
                                    

Aku tidak merasakan apa-apa di saat bersamanya kecuali rasa bahagia

...

Aisya pulang ke rumah. Ia telah mendapat izin dari guru piket setelah menunjukan keadaannya.

Ini yang membuat Aisya tidak betah berada di sekolah. Ia lebih merasa di neraka jika di sana.

Dia tidak memberi tahu Iqbal jika ia pulang, ia juga tidak membalas maupun menjawab telpon Iqbal.

Dia berharap tidak ada orang di rumah jadi ia tidak harus repot menjelaskan keadaannya saat ini. Dan semoga saja mbok Sumi sedang ke pasar.

Ketika turun dari angkot Aisya melihat keadaan sekitar. Langit tampak cerah sepertinya tidak ada tanda-tanda hujan. Aisya membelokan arah kakinya sepertinya ia merubah fikirannya untuk pulang.

Saat ini memang masih pagi bahkan saat Aisya pulang tadi pelajaran kedua baru dimulai. Aisya mengedarkan pandangannya sekarang ia sedang berada di sebuah rumah yang tampak kosong entah kemana penghuninya tapi yang jelas ia merindukan orang itu.

Coba saja kejadiaan hari itu tidak terjadi mungkin saat ini Aisya tidak akan merasa sesepi ini.

Ia memandangi rumah bercat coklat muda yang mulai memudar, rumput di halamannya mulai meninggi, cat di pagar itu mulai lepas. Apa kabar penghuni rumah ini, apa ia baik-baik saja. Aisya merindukannya.

Aisya menghela nafas ia tersadar ternyata yang ia lakukan sangat tidak bermanfaat. Untuk apa memperhatikan rumah tak berpenghuni. Sangat tidak bermanfaat sekali.

Akhirnya Aisya mengarahkan kaki dan hatinya untuk pulang kerumah.

Dari sini ia bisa melihat mobil oomnya,  Kafhi. Apa oomnya itu tidak pergi bekerja kenapa ada di rumah.

Aisya memasuki rumah ia terkejut melihat oomnya yang berdiri tepat di depan pintu. Untung saja Aisya tidak terlalu kuat membuka bintu jika tidak oomnya itu bisa di pastikan benjol.

"ngapain berdiri di depan pintu si om" Aisya misu-misu melihat kelakuan oomnya itu.

Kafhi tidak menanggapi omongan Aisya ia langsung mendekat dan menempelkan kedua tangannya di masing-masing pipi Aisya. Menggerak-gerakkan Aisya seperti memcari sesuatu.

Aisya menganga melihat kelakuan aneh oomnya itu. "ngapain sih om"

"kamu gak papa Aisya? Saya dapat telepon dari Iqbal tadi kamu digangguin teman kamu lagi" Aisya mendengus mendengar perkataan Kafhi, dasar Iqbal ember.

"Aisya gak kenapa-kenapa om. Tadi cuman telor kok" jawab Aisya acuh.

"cuman telur kata kamu? Ini sudah keterlaluan Aisya" Kafhi geram melihat sikap Aisya yang cenderung cuek ini.

"ini sudah keterlaluan, saya akan laporkan ini ke pihak sekolah" Aisya jengah melihat tingkah Kafhi yang membara-bara seperti mau memperjuangkan kemerdekaan saja.

Kafhi menarik lengan Aisya berencana pergi ke sekolah. Tapi di tahan oleh Aisya.

"gak usah om, ini udah biasa. Dan kalo om ikut campur soal ginian, Aisya bakal tambah di bully. Jadi gak usah" Aisya menatap Kafhi tenang sambil memberikan senyum hangat.

"saya tidak bisa biarkan ini, mereka bisa melakukan hal lebih ke kamu" Aisya menggenggam tangan Kafhi memberikan senyum setenang mungkin.

"untuk masalah ini Aisya bisa atasi sendiri" Kafhi menghela nafas ia sepertinya tidak bisa memaksakan kehendaknya kepada Aisya untuk hal ini.

Akhirnya Kafhi mengangguk setuju dengan perkataan Aisya.

"Saya biarkan untuk kali ini tapi untuk selanjutnya saya tidak akan biarkan" Kafhi berusaha serius dengan Aisya berharap keponakannya ini dapat mengerti kekhawatirannya.

Shoulders Of My OmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang