R.A 4

1.2K 76 2
                                    

“Rindu terbalas. Itu sudah lebih dari cukup”
–Asyaqillah Quinsyah Purnama

🌻🌻🌻

Bel sekolah telah berbunyi sejak limabelas menit yang lalu dan bel itu sangat-sangat ditunggu oleh Qilla. Kenapa? Karena Qilla akan menagih janji Bian kemarin. Begitulah. Qilla tidak mudah untuk patah hati dengan hal sepele semacam itu, walau kenyataannya dia sedikit kesal.

“Eh curut! Balik sama siapa lo?” tanya Jhera di depan Qilla, yang sedang memasukkan sebagian buku ke kolong meja, untuk meringankan berat tas sehingga tingginya tidak menyusut. Qilla juga melakukan hal yang sama. Terpengaruh yang bermanfaat bukan?

Senyum Qilla merekah bagai bunga sakura yang tengah mekar, “Pangeran Qilla dong!”

“Sotoy nih bocah mentang-mentang belum pernah ngerasain patah hati,” sungut Indah yang sedang menyapu di barisan depan.

Raty ikut menyahut, “Bentar lagi juga ngerasain itu.”

Qilla terkekeh, “Hahaha Iya cepat atau lambat kan?”

“Untung gue ga aminin ya Qil?” sahut Ulan.

“Hahaha bodo!” balas Qilla yang berlari ke pintu kelas sebelum Ulan melayangkan bukunya, “Qilla yang cantik duluan ya! Jangan rindu, berat!”

Qilla berjalan santai menuruni setiap anak tangga sembari memainkan ponselnya. Ia memberi kabar kepada Bian bahwa dirinya sudah keluar kelas.

Qilla : Biiii, Qilla udah keluar kelas

Bian : Aku otw. Tunggu, jangan kemana-mana loh yaa, love.

Qilla tersenyum mendapat balasan manis dari Bian. Bahagianya sesederhana itu.

Qilla menunggu di depan pagar sekolah yang menjulang tinggi itu, seorang diri. Sampai tiba-tiba pundaknya ditepuk oleh seseorang yang membuat dirinya reflex menoleh.

“Nunggu siapa?” tanya orang itu sembari tersenyum.

Akhir-akhir ini Qilla harus menghafal wajah orang baru didepannya, agar kalau disapa Qilla tak lupa dan tidak dikata sombong. Tetapi sama aja, bahwasannya Qilla itu pelupa wajah orang, “Eh? Kak Rafy bukan?”

Rafy mengacak-ngacak pucuk kepala Qilla gemas, “Pake kak lagi gue gigit lo!”

“Hahaha, lupa!”

Rafy tersenyum maklum, “Dijemput?”

Qilla mengangguk, “Iya.”

“Sama?”

Belum sempat Qilla menjawab, suara deruman motor terdengar dari sebrang jalan.

Brumm…brumm…

Qilla menunjuk orang disembrang sembari tersenyum ceria, “Nah! Itu dia, duluan ya Rafy,” pamitnya sambil melambaikan tangan kearah Rafy. Sontak membuat Rafy tersenyum tanpa membalas lambai-an itu.

Qilla menghampiri orang yang ditunjuk tadi. Jelas itu Bian. Bian tersenyum dikala Qilla berjalan menghampirinya dan menoleh tak suka kepada orang dibelakang Qilla yang tak terlihat jelas dari sebrang jalan, “Siapa?”

“Kakak kelas,” jawab Qilla sambil menaiki motor kesayangan pacarnya itu.

“Langsung pulang atau main?”

Baru Qilla ingin membuka mulut, tetapi diselak oleh Bian, “Tunggu. Jangan dijawab. Aku ramal, kamu bakal bilang main,”

Qilla tertawa di balik punggung Bian yang kini menjadi sandarannya, “Hahaha Bian denger isi hati Qilla ya?”

“Always!”

-®©®-

Sore itu menjadi saksi kebahagiaan Qilla. Dimana rindunya terbalaskan dan dirinya yang begitu terlihat special karena Bian. Menurutnya, dua jam yang berharga tadi sudah cukup untuk menebusnya, walaupun ada sedikit rasa kurang di hati.

Senyum Qilla tak henti-hentinya mengembang bila mengingat kejadian tadi. Dimana dirinya diajak naik Bianglala, dimana Bian membuatkannya milkshake chocolate dari tempat jualan pinggiran, dan dimana Bian memeluknya dengan kasih sayang. Ah, terlalu indah untuk dilupakan, tunggu sama seperti lagu?

“Abis dari mana kamu?” Suara bariton dibelakangnya mengejutkan Qilla yang hendak membuka pintu kamarnya.

Qilla berbalik badan dan menemukan Ayab yang masih berstyle rapih dengan baju kantornya. Qilla tersenyum menjawab, “Main sama Bian!”

“Loh? Kamu belum putus?”

“Ayah doa-in ya?!” tanya Qilla dengan sedikit menghardik.

“Ya bukan. Maksudnya dia udah jarang kesini, jadi ayah kira kamu putus,” jelas Nano, Ayah Qilla.

Qilla menggeleng kuat, “Engga kok!”

Ayahnya itu mendengus, “Ayah pernah liat juga dia jalan sama cewek, yang pasti bukan kamu.”

Ayahnya ini sangat menyebalkan menurut Qilla. Baru saja Qilla merasa bahagia kemudian di jatuhkan oleh pernyataan ayahnya itu. Qilla berusaha positif thinking. Qilla tau, ayahnya hanya memanas-manasi saja. Bukan. Bukan berarti ayah tak setuju dengan hubungan mereka, memang sikapnya saja yang menyebalkan.

Qilla mendelikkan bahu, “Saudara mungkin?”

“Ayah rasa bukan. Masa iya saudara rangkul-rangkulan, pegangan tangan?”

Qilla menaruh jari telunjuk di dagunya dan matanya yang menatap kelain arah seraya berpikir boong-boongan. Qilla mencondongkan wajahnya sedikit dan berbisik, “Nanti Qilla jadi dektetif deh. Ayah diem-diem aja!”

“Ngopi apa ngopi,” lawak Ayah dengan ikutan berbisik.

“Hahaha,” Qilla tertawa begitupun dengan ayahnya

“Besok ikut ayah mau?” tanya ayah Qilla tiba-tiba. Dengan nada serius pastinya.

Qilla mengernyit, “Kemana?”

“Café.”

“Café mana?”

“Ada deh,” ujar ayahnya sambil berlalu begitu saja meninggalkan Qilla yang masih diam di tempat. Qilla mendelikkan bahu melihat punggung ayahnya yang menjauh dan memilih masuk ke kamar untuk membersihkan dirinya yang sudah bau asem.
















---ʝaҡaʀta, 2019
TBC
terima kasih, readers💜
don't forget voment😋

DILIGITIS (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang