R.A 6

1K 74 0
                                    

17.59 PM


Udara sore menjelang malam yang sejuk ini membuat Qilla tak mau beranjak dari balkon kamarnya. Sejuk. Semilir angin sore ditambah pandangan langit yang mulai menjingga menjadi favorit Qilla, karena hal itu bisa menghilangkan penat.

Dan sudah dari lima kali panggilan menggelegar terdengar dari balik pintu kamar Qilla. Bunda terus memanggil Qilla yang sesekali menggedor pintunya. Qilla baru saja keluar kamar mandi, membuang hajatnya dan itu tidak bisa ditunda. Ia harus rela meninggalkan sanset yang sedang indah-indahnya tadi.

“Sabar, Bundaku,” ujar Qilla sambil membuka pintu kamarnya.

Bundanya menatap Qilla tak percaya dari ujung kaki sampai kepala, “Kenapa belum ganti baju? Ganti baju buruan, udah mau jam berapa ini?”

“Mau kemana toh?”

“Kamu ga dibilangin ayah mau pergi?”

Qilla teringat akan ajakan Ayah
kemarin, “Bilang, tapi ga dikasih tau jam dan tempatnya. Jadi kalau mau menyalahkan kenapa Qilla belum ganti baju. Bunda marahin Ayah aja sana!”

“Aduh pusing Bunda tuh dengerin kamu ngeles mulu. Ganti baju aja cepetan!”

Qilla mengelum bibirnya, “Pakai yang formal atau non-formal? terus pakai sepatu kets boleh?”

“Formal dan terserah asal sopan,” ujar sang Bunda meninggalkan Qilla diambang pintu.

Qilla mendengus dan bergegas mengganti pakaiannya dengan dress selutut berwarna keemasaan. Setelah selesai merias dirinya, ia memilih turun kebawah bergabung dengan bundanya yang telah siap di ruang tamu sejak 5 menit yang lalu, karena bundanya itu terus memanggilnya.

-®©®-

Qilla menggeleng tak percaya melihat café dihadapannya, ingin tertawa rasanya. Ia teringat sewaktu dirinya bertanya kepada ayahnya akan kemana dan dijawab ada deh. Dan dihadapannya kini telah terpampang jelas nama café ada deh. Konyol.

“Bun, Ini mau ngapain sih disini?”

“Makan malam sama teman ayahmu,” ujar Bunda seadanya. Membuat Qilla memincing curiga. Lalu, berjalan masuk ke dalam.

“Malam. Maaf kami terlambat,” sapa Ayah kepada seseorang. Qilla berhenti menggedarkan pandangannya dan menoleh kepada orang yang baru Ayah sapa itu.

Laki-laki dan perempuan itu berdiri menyambut kedatangan keluarga Qilla, tapi tidak dengan orang yang ada dibelakang sepasang suami-istri itu, “Malam. Hey Nano dan Liana, apa kabar?”

“Hey Brian dan Karin. Saya Baik. Seperti yang terlihat sekarang.”

Qilla menyerengit bingung di balik wajahnya yang melontarkan senyuman, “Ini Asya ya? Sudah besar ternyata.”

Qilla menyalimi punggung tangan kedua orang itu, "Panggil Qilla aja, Tante.”

Wanita itu tersenyum dan menoleh kepada orang dibelakangnya, “Bocah nakal! Salam sama teman papah.”

Laki-laki muda itu berdiri dan menaruh ponselnya kedalam saku. Qilla tersentak kaget melihat siapa laki-laki itu, “Maaf Om-tante tidak langsung menyambut. Tadi lagi angkat telfon,” ujarnya kepada ayah dan bunda Qilla. Ia juga sempat melontarkan senyum penuh arti kepada Qilla sekilas.

“Tidak apa, Rafy,” jawab Ayah Qilla sembari mengenalkan Qilla kepada cowok itu. Memang untuk dikalangan keluarga, diri Qilla dikenal dengan nama Asya dan untuk diluar keluarga cukup panggil Qilla, “Kenalin ini Asya anak Om atau kamu bisa manggil Qilla.”

“Sudah kenal. Kebetulan dia adik kelas saya,” ujarnya sembari melempar senyum manis yang membuat Qilla terhipnotis akan senyumannya.

“Iya? Qilla ga pernah cerita ke bunda?”

Qilla mengalihkan matanya dari senyum itu dan menoleh kepada sang Ibunda, “Emang penting?”

Qilla itu anak yang susah untuk di tebak. Nada bicaranya tadi sudah menunjukan ketidaksukaan. Bukan karena orangnya ataupun hal lainnya tetapi ada firasat buruk yang muncul tiba-tiba dan hal itu membuat Qilla penasaran sekaligus ketar-ketir sendiri.

“Duduk-duduk,” titah ayah Rafy.

Rafy dan Qilla duduk saling berhadapan. Mereka berdua seolah bertatapan memberi kode satu sama lain. Entah itu apa, tapi mulut Qilla gatal untuk bertanya langsung kepada Rafy dan Rafy memberi respon seolah dirinya tak tau apa-apa.

“Sya,” panggil Rafy. Sontak membuat Qilla bingung harus bereaksi seperti apa. Qilla tidak terlalu bodoh untuk di tipu tentang kedatangan Rafy yang tiba-tiba di hidupnya. Ada udang di balik bakwan.

Qilla menatap Rafy dengan wajah tak bersahabat untuk pertama kalinya, “Ya?”

“Manggil doang,” ujarnya sambil menyengir.

“Gajelas!”

Rafy tak ingin berhenti menggoda gadis didepannya, karena wajah Qilla sangat imut dengan berbagai macam dia berekspresi dan itu akan menjadi hobby baru bagi seorang Rafy tentunya.

“Sya!” Qilla mendongak malas ke arah Rafy.

“Ada temen lo tuh!” ujuk Rafy ke arah belakang Qilla. Tanpa disuruh, Qilla menoleh dan tak mendapati siapapun.

Qilla menggeram kesal, “Jangan bikin panik!”

Iya, Qilla panik karena takut ketahuan teman-temannya bila dirinya tengah berada di hadapan cowok yang di idam-idamkan banyak perempuan disekolahnya. Bahaya, bisa jadi bahan omongan nanti.

Sebenarnya, Rafy itu cowok biasa yang dikenal dengan muka cueknya dan dia juga jarang berbicara tapi setelah memasuki organisasi osis dan sering tampil dimuka umum atau berpidato, cowok itu menjadi terkenal karena kadar manisnya saat tersenyum dan kewibawaannya dalam menyampaikan sesuatu. Qilla baru tau hal itu kemarin, teman-temannya bercerita tentang Rafy setelah kejadian dimana teman Rafy menanyakan dirinya.

“Sya!”

Qilla hanya berdeham sembari meminum-minumannya yang, “Lo temenan sama Raty Fildrania?”

Pertanyaan itu, lantas membuat Qilla berhenti memainkan makananny dan menyerengit heran, “Sahabat, kenapa?”

Rafy menggeleng dan tersenyum, “Dimakan. Jangan di aduk-aduk aja,”

“Bosen.”

Tak peduli pada kedua anaknya yang berdiam diri setelah obrolan singkat itu. Dua pasang suami-istri itu asik dalam obrolan yang tercipta dari mulai bisnis, arisan, produk kecantikan, sekolah anak-anak mereka dan sampai ke salah satu hal yang melibatkan Qilla dan Rafyan.

“Jadi, gimana untuk selanjutnya ini Brian?” ujar Ayah Qilla dengan suara tegasnya.

“Tergantung mereka. Rafy, Qilla?”

Qilla refleks menoleh saat namanya disebut-sebut, “Hah? Apa?”

“Kamu belum tau kalau mau dijodohin sama anak om?” tanyanya kepada Qilla yang menampakkan wajah bingungnya.

“Hah?! Jodohin? Aduh om Brian bercanda ya sama Qilla?”

Bunda yang berada disamping Qilla mengelus rambut Qilla yang terurai, “Om Brian ga boong sayang. Itu bener. Jadi gimana menurut kamu?”

“Eh? Ini zaman modern, masih ada gitu jodoh-jodohan?”

“Kenapa engga? Ini bisa jadi yang terbaik buat masa depan kamu,” tutur Ayahnya.

Tante Karin selaku mamahnya Rafy mengulas senyum jail, “Rafy setuju loh, Sya!”

“Itu...Apa ya? Aduh Qilla bingung. Qilla ga bisa!”











---ʝaҡaʀta, 2019
TBC
vote and coment, babe. Thank's💋

DILIGITIS (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang