R.A 43

633 49 4
                                    

Selepas Qilla menghabiskan makanannya. Ia bergegas pergi, menemui Rafy dibelakang sekolah untuk menepati janji. Mengenai kakak beserta adiknya, mereka sempat menaruh curiga. Terlihat dari wajah Qilla yang tak biasa dan menghindari berbagai pertanyaan. Sempat, Qilla membentak mereka untuk tetap diam di tempat. Memerintah untuk tidak mengikuti apalagi mencampuri urusannya. Risih dirasa. Mengenai perihal hati ke hati dari lara yang tak kunjung berhenti.

Setelahnya, Qilla ngacir begitu saja. Tak peduli dengan apapun yang akan menjadi penghalang. Beruntung bel masuk pelajaran sudah dibunyikan. Dengan begitu, tak ada banyak orang yang berlalu lalang. Ia bebas pastinya. Biarlah, Qilla membolos dua jam pelajaran terakhirnya. Yang terpenting, masalahnya terselesaikan. Tak ada lagi yang namanya jauh perlahan atau menghilang tanpa kabar, bahkan alasan. Entah apa yang dirasakannya sekarang, namun hati Qilla seakan tak bisa merelakan kejauhan Rafy. Jika ditanya apakah ada lelaki lain yang mengisi hatinya lagi, mungkin ada tapi entah itu siapa. Karena hatinya belum bisa menjawab secara pasti pertanyaan yang diutarakan Rafy pada masanya. Bahkan orang lain sekalipun.

Langkahnya terhenti, senyum manis Qilla merekah tatkala melihat sosok Rafy didepannya. Bersandar pada pepohonan rindang yang menjadi pelindungnya dari terik matahari. Jadi teringat saat pertama kali Rafy mengajaknya bolos bersama, menjadikan hari itu hari luar biasa. Masih terasa hangat dibenaknya, kebersamaan yang singkat membawa keindahan yang pekat.

Perlahan tapi pasti, jantungnya berdetak sedemikian kuat adanya. Kakinya terasa lemas melangkah, namun ia usahakan untuk sampai dihadapan lelaki itu. Berdiri dan memadangnya dengan senyum manis. Merasa diperhatikan begitu lekat, ia menoleh pada Qilla yang tengah menatapnya, “Kenapa? Ada yang mau lo omongin?”

Qilla tersenyum miris, mendengar lontaran tak hangat yang keluar dari rembulan manis itu. “Mau sampai kapan kek gini?” ujarnya lesu.

“Gini gimana?”

“Rafy berubah!”

“Gue hulk gitu?” tanya Rafy.

“Bukan gitu.”

“Terus?”

Qilla menghela nafas pelan dan bertanya apa yang membuatnya bingung belakangan ini, “Rafy kenapa ga jenguk Qilla?”

“Memangnya harus?”

“Jangan begini. Qilla ga bisa.”

“Ini semua karena Qilla suruh Rafy untuk ngejauhin Qilla ya? Qilla minta maaf. Qilla harus ngelakuin itu karena Qilla mau menjalankan misi tanpa melibatkan Rafy. Tapi, Qilla bingung. Selama Qilla minta Rafy menjauh, Rafy masih care sama Qilla. Apa lagi pas kejadian, Rafy nolongin tangan Qilla yang berdarah dan setelah itu, Rafy seolah-olah orang asing. Qilla salah apa Rafy? Qilla minta maaf.” Air matanya tak dapat terbendung lagi. Meluruh dengan mudah tanpa diminta. Rafy sampai kesal dibuatnya. Ia telah membuat Qilla sakit dan sekarang menangis. Brengsek.

Tangan Rafy terulur menyentuh kedua pipi Qilla yang basah. Menghapus jejak air mata disana. “Jangan nangis. Gue ga suka liatnya.”

“Air matanya jatoh sendiri,” sungutnya kesal. Ia juga tak mau terlihat lemah di depan Rafy. Tetapi, mau gimana lagi? Mata tidak bisa berbohong.

Rafy berdecak, mengganti menggengam kedua tangan Qilla erat, “Dengerin gue. Bukan lo yang salah tapi gue.”

“Mungkin gue terlalu maksa lo untuk jadi tunangan gue dan ga seharusnya gue ngelakuin itu. Apalagi sampai ngebahayangin lo karena ulah Hania. Maaf.”

Qilla menggeleng kuat, “Raf, itu kemauan Qilla. Rafy ga maksa.”

Dikecupnya kedua tangan Qilla tanda maaf, “Maaf, Sya. Ga seharusnya lo yang kena imbas.”

DILIGITIS (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang