R.A 47

470 51 12
                                    

Kejadian semalam benar-benar menguras pikiran Qilla. Bagaimana tidak, penderitaannya tak sampai disitu. Ketidaknyamanannya ditambah saat makan malam bersama. Qilla pikir, saat dirinya dan Rafy pergi, Arimba melakukan hal yang sama. Ternyata, tidak. Atas perintah Mahesa membuat Arimba bergabung. Diperhatikan sepanjang makan malam itu sangat tidak nyaman. Nafsu makannya jadi berkurang, belum lagi rasa panik yang tak ada habisnya.

Qilla menyerah. Buru-buru menghabiskan makanannya dan merengek meminta Paskal untuk mengantarnya pulang. Alasannya lelah, butuh istirahat dan mengantuk. Namun, Paskal enggan dan membuat Rafy tergerak menuruti. Qilla meringis dalam hati. Salah jalan lagi. Niatnya ingin menghindari kedua manusia itu, tetapi yang satu malah gencar mendekati. Biarlah untuk hari ini Rafy berkuasa. Besok akan Qilla pikirkan caranya menyembuhkan luka Arimba dan mengurangi rasa bersalahnya.

Semuanya percaya. Tiada ada sedikit rasa curiga atas ketiba-tibaan Qilla yang meminta pulang, tetapi sedikit berbeda dengan Rafy yang mengheran karena setibanya dirumah, Qilla sudah tidak mengantuk dan meminta Rafy untuk tinggal sebentar dirumahnya. Menemani Qilla ditengah gundah gulananya dengan Bunda yang ikut menimbrung semalam.

Cuaca hari ini seakan meledeknya, hujan disertai petir. Menggambarkan keadaannya yang tidak baik hari ini. Oh, tepatnya dari semalam yang belum berangsur surut juga. Padahal, tidurnya sangat nyenyak di dalam dekapan Rafy. Ketika terlihat dari luar, ia nampak baik-baik saja. Masih tertawa sana-sini. Malahan sempat menjahili Viero tadi. Namun, pikiran penuh. Tak bisa disebutkan. Terlalu banyak. Entah mana yang harus diselesaikan dahulu, agar tak salah jalan. Ingin berakhir bahagia. Ingin dirinya tak terus-terusan diposisi seperti ini. Ingin hidup pada porsi yang secukupnya, tidak seberat ini. Berbicara pada keinginan yang tak tahu kapan akhirnya.

Helaan nafas keluar dari bibir mungilnya. Lamunannya cukup lama ternyata. Sudah istirahat dan Viero tidak menganggunya sama sekali. Ia menoleh, memperhatikan Viero yang sibuk dengan ponselnya dan tiba-tiba kelasnya yang setengah riuh itu menghening. Tatkala kedatangan tamu yang tak diundang. Terlihat kepala yang menyumbul di balik pintu dengan setengah badannya.

“Yang namanya Asyaqillah Quinsyah Purnama ada?” tanya seorang cowok asing. Berpakaian rapih, terlihat gombrong celana serta bajunya. Adik kelas sepertinya.

Sontak alisnya terangkat, bingung dibuatnya. Lalu, dengan berat hati dan memutuskan rasa bingungnya. Ia
menuju ambang pintu kelas, menghampiri dimana cowok itu berdiri. “Kenapa?”

“Ada titipan.”

Qilla mengernyit, “Apa?”

“Ini,” Memberikan sekantung plastik kepadanya. Dibuka sedikit, sekedar mengintip. Kotak bekal ternyata.

“Dari siapa?”

“Ka Rafy.”

“Dia dimana?”

“Lab. Bahasa, ada test penilaian sementar.”

“Yaudah, makasih ya.” Setelah mengangguk, cowok itu pamit. Berjalan menjauh dari Qilla yang tak begitu peduli.

Kembali menjatuhkan bokongnya disamping Viero yang setia pada ponselnya. Menemani Qilla yang menunggu Rafy tiba. Namun, kenyataan harus diambil sempurna.
Rafy harus menghadapi kesibukkan diri yang akan segera meninggalkan Qilla.

Memilih membuka surat yang tertempel pada kotak bekal dengan detak jantung yang cepat. Ini kali pertama, Qilla mendapat surat dari seorang Rafy. Biasanya cowok itu akan mengatakannya langsung.

Hai cantik! Maaf ya ga bisa istirahat bareng, ada test dadakan hari ini. Nanti pulangnya, lo sama paskal gpp kan? Gue ada pendalaman materi mulai hari ini. Maaf, Sya...

DILIGITIS (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang