R.A 41

585 47 9
                                    

Empat hari berlalu begitu lamban untuk Ravengers dan Laxvispa. Terutama untuk kedua orang tua Qilla. Empat hari tanpa suara berisik Qilla, seakan mati waktu. Termakan oleh kesunyian yang menyatu. Perlahan tapi pasti, semua orang pergi. Sibuk menyendiri, untuk merenung kembali. Terlebih lagi, mendengar fakta bahwa Qilla bukan sekedar pingsan karena koma menjadi.

Seperti Rafy yang datang jika hanya di perlukan. Bergantian jaga contohnya. Kalau tidak, ia tak akan datang. Entah apa yang dirasa, namun penyesalan itu ada. Walaupun bukan salah Rafy semua tentunya. Anggota Ravengers yang lain lebih memilih menyibukkan diri dengan kegiatannya agar tak terasa bahwa Qilla tengah terbaring, hatinya seakan hilang separuh. Berbeda dengan Mahesa, Lana dan Paskal yang setia setiap harinya. Mahesa tak memaksa yang lain, biarlah begitu agar tak menjadi beban Qilla juga nantinya.

Untuk Qilla. Gadis itu sudah melewati banyak hal empat hari berlalu. Apalagi saat kedatangan orang tua Qilla ke kediaman Ravengers. Membawa kecewa bagi mereka, karena anak semata wayangnya terluka. Sempat mereka berkata ingin membawa Qilla pergi ke rumah sakit untuk dirawat sementara. Mahesa melarang keras, Qilla adalah anggotanya dan dia yang bertanggung jawab atas apa yang ditimpa. Lalu, terjadilah adu argumentasi hingga membuat orang tua Qilla mengerti seluknya.

Bunda dan Ayah menyetujui untuk rasa tanggung jawab Mahesa dan kerempongan pun tercipta setelahnya. Hampir setiap hari, Bunda akan datang ke mansion dalam waktu beberapa jam. Lalu, Ayah akan menelfon Mahesa di setiap istirahat yang dia punya dan Mahesa sama sekali tak keberatan akan hal-hal itu.

Dibalik kerumitan yang ada pasti ada hal bahagia yang tercipta. Setiap hari Bunda datang, semakin hari juga Bunda akrab dengan Paskal. Merayunya untuk mau di angkat sebagai anak. Dengan Qilla sebagai poin alasan. Awalnya Paskal ragu, namun setelah Ravengers memberi saran dan dorongan, keraguan itu sirna. Suatu kebahagian sederhana untuk Bunda beserta Qilla nantinya. Bertambahnya anggota keluarga adalah bahagia utama.

Kini tepat hari kelima Qilla koma, masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Tak ada tanda-tanda kesadaran Qilla yang kunjung menampak. Dokter Arimba selalu datang tanpa diminta, memastikan keadaan Qilla yang belum berangsur membaik dan baru saja Arimba selesai mengecek kondisi Qilla. Menghadap pada Mahesa dan memberi laporan mengenai perkembangannya.

Mahesa beridiri cemas diantara Paskal dan Lana, “Gimana Rim?”

Dokter Arimba menggeleng dan tersenyum memberi kepercayaan, “Masih belum ada perkembangan.”

“Berapa lama lagi?”

“Tunggu saja mukjizat dari Allah. Kita hanya terus meminta ampun dan doa kepada-Nya.”

Mahesa mengangguk lesu, “Pasti. Makasih Rim.”

“Sama-sama, saya permisi.”

“Mari saya antar.” Mahesa mempersilahkan Arimba untuk berjalan lebih dulu. Meninggalkan Lana dan Paskal yang menatap Qilla dari kejauhan.

Lana tersenyum kecut, adik kesayangannya itu harus terbaring disana sepertinya dulu. Sangat tak enak pastinya. Lana menoleh pada Paskal yang terbengong. “Paskal,” panggilnya.

“Kenapa kak?”

“Jagain Qilla ya. Kakak sama Esa mau beli bahan makanan.” Paskal mengangguk tanpa menyahut. “Kalau ada apa-apa telphone,” perintahnya tak lupa.

“Siap, laksanakan,” hormatnya pada Lana. Belum genap dua hari menjadi adik angkat Qilla, rupanya Paskal sudah tertular gila.

Kaki Lana melangkah menjauh, menyusul Mahesa. Paskal pun masuk ke ruang inap Qilla, untuk menjaga gadis kesayangan Ravengers itu. Duduk di sofa tersedia sembari memainkan laptopnya. Memulai pekerjaan yang tertunda.

DILIGITIS (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang