R.A 31

609 45 2
                                    

Warna hitam pudar menghiasi langit semesta, ditambah taburan bintang yang berkelap-kelip dengan indahnya. Beserta lampu-lampu jalan yang menghiasi bibir trotoar. Angin pun menerpa dengan suhu tak normal. Bergerak tak menentu arah. Hingga pakaian tebal telah di rapatkan oleh orang-orang yang akan membeku dalam suhu 22° celcius.

Tapi, hal itu tak berpengaruh untuk Ravengers maupun Laxvispa. Malam yang berbeda dari malam mereka berkumpul. Jadwal gila yang baru saja tercetus oleh Ambon disambut dengan maki-makian. Tak ada yang menyetujui hingga Qilla menangahi. Memberi motivasi, sehingga mereka semua tak mampu menolak dan pergi. Menuju stadion tertutup yang berhasil diretas kode masuknya.

Kali ini, olahraga yang mereka pilih adalah loncat tebing dan baseball. Loncat tebing yang berbeda khasnya dengan tembok dengan tinggi 1,5 meter menjadi sasaran. Satu-persatu dari mereka harus berdiri berjarak 3 meter dari tembok itu, kemudian berlari untuk menggapai puncak tembok dan loncat dari sana. Lebih bagus lagi, kalau langsung loncat tanpa harus menggapai puncak tembok. 

Menit demi menit telah berlalu,hingga tak terasa olahraga loncat tebing telah terselesaikan. Walaupun ada beberapa dari mereka yang harus mengulang karena gagal. Apalagi, Qilla dengan postur tubuh yang tak memadai. Tenang saja, ia berhasil di percobaan ke-empat. Selanjutnya, olahraga baseball menanti. Mereka di bagi beberapa dalam dua kelompok. Tentu menjadi, Ravengers dan Laxvispa.

Ada Lana dan Zio yang menjadi wasit, memperhatikkan setiap kali kecurangan yang terjadi. Contoh beberapa yang sempat terjadi, Odin yang menjadi pelari memotong arah melewati tengah lapangan, begitu pula dengan Boby yang menjadi pemukul berubah posisi tanpa izin menjadi penjaga.

Laxvispa, biang kerok.

Qilla yang jengah melihat ketidakseriusan itu pun memilih menyudahi. Percuma bila harus dilanjuti, jika tak ada kejelasan yang menanti. Macam hubungan yang sedang dijalaninya kini dengan Rafy.

Keringat telah membasahi tubuh mereka masing-masing. Beruntung, udara malam ini sangat dingin, membantu penyerapan keringat dengan cepat hingga bau tak sedap tidak menyeruak.

Mereka semua memutuskan untuk mengakhiri permainan dengan tim Ravengers menjadi pemenang. Bagaimana tidak, Mahesa berlari seperti kuda begitu cepat dan berhasil mencetak skor banyak.

Beristirahatlah mereka. Duduk berkumpul dengan sebagian Dari mereka ada yang di tribune penonton dan ada pula yang duduk di bawah tribune. Bukan sembarang jadwal walaupun dadakan. Mereka menyiapkan jadwal berkumpul ini cukup mantang. Terbukti, minuman-makanan ringan yang dibawa menjadi 2 box masing-masing.

Boby meregangkan otot-ototnya, “Capek banget, gila!”

Ambon ikut menimbrung sembari mengangguk membenarkan, “Parah!”

“Mana laper kan,” ujar Odin sembari memakan kripik yang berada di pangkuannya.

Semuanya terkekeh dan saling membully trio perusuh dengan sesuka hati. Sesekali Odin mengelak dan membantah bullyan itu, menyebabkan pertengkaran kecil yang berujung kejar-kejaran. Berbeda, dengan dua manusia yang sedang bermesraan tanpa peduli yang lain. Mahesa dan Lana, tentunya. Mahesa memangku Lana dengan posesifnya. “Lana, haus.”

Lana terkekeh, “Bentar aku ambilin minum,” izinnya berpamit seraya berdiri dari pangkuan Mahesa. Lalu, kembali lagi seperti semua. Alex yang memperhatikan pun merasa iri, “Syasya yang cantik dan baik, ambilin gue minum dong.”

“Gue juga!” sambar Jefta, Zoni, dan Odin serempak.

“Mau juga, Sya,” kata Jo yang ikut-ikutan.

Syasya mendengus sebal, padahal box minuman tak jauh dari mereka. Hanya berselisih 3 langkah tapi mereka mager, kurang bersyukur. “Lo semua punya kaki! Ambil sendiri, gausah manja.”

DILIGITIS (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang