R.A 35

566 49 0
                                    

Sudah lebih dari sepuluh menit, Qilla dan Duta telah sampai di tempat tujuan dengan selamat. Mereka berdua lebih dulu tiba dibandingkan dengan yang lain, disusul Adit, Javi, Daren, Jo, Paskal, dan terakhir sepasang kekasih tetuah Ravengers.

“Tumben udah nangkring disini duluan?” tanya Mahesa dengan suara tegasnya.

Dagu Qilla terangkat mengarah kepada Duta, “Duta ngebut tuh.” Duta yang merasa terpanggil, mengalihkan pandangannya dari ponsel, lalu menatap bingung Qilla dan Mahesa secara bergantian.

“Ta, kalau bawa dia jangan ngebut-ngebut. Mual dia,” jelas Mahesa memperingati lain kali.

Duta mendelik, menggeleng tak tahu, “Lah, Ka Qil ga bilang. Malah nemplok di pundak gue.”

Jo menoyor kepala Duta tak tega, “Modus kan lu nyet!”

“Tadinya sih ga kepikiran tapi setelah ini, keknya iya.” Duta menyengir lebar, menunjuk rentetan gigi layaknya orang bodoh.

“Semprul!” Daren melempar kacang yang baru saja di kupas dari wadah dan dilemparkan ke wajah tampan milik Duta dan karena tak terima ia mencibir memaki, membalas mengembalikan kacang yang dilempar tadi. Lalu bergantian lagi, hingga berakhir perang kacang antara Duta dan Daren. Yang lain, menggeleng maklum dengan aksi yang tercipta tanpa mau ikut campur.

“Mual ga?” tanya Mahesa dengan khas khawatirnya yang muka tembok-perhatian ala-ala coldboy.

Qilla menggeleng jujur, “Engga. Tadi rada ngantuk juga, jadi ga begitu ngerasa.”

“Qilla. Rafy chat gue nih. Nanyain lo,” panggil Adit yang terfokus diam sendari tadi.

“Nanya apa?”

“Lagi sama Asya ga? gitu,” jawab Adit yang membaca pesan dari monitor ponselnya.

“Bilang aja Iya tapi Qilla lagi tidur, gitu.”

Adit menyatukan alisnya bingung, “Bohong dong gue?”

Qilla berdecak dan mencibir, “Nurut aja abang.”

“Sebenernya hubungan lo berdua tuh apa si?” tanya Lana menimbrung.

Sungguh Qilla paling malas kalau ditanya soal hubungan. Lantas, ia mendelikan bahu, “Gatau. Qilla ga mikirin. Ribet.”

“Jangan suka gantungin anak orang, sayang,” kata Jo menyela.

Medesah nafas berat dan mengontrol diri untuk tak mengumpat. Qilla selalu merasa kesal kalau sudah menyangkut hati, dirinya sendiri saja tak tahu harus singgah dimana. Ditambah pertanyaan, yang Qilla tak tahu jawabannya.

“Qilla belum ngerasa apa-apa selain nyaman. Itu doang.”

“Nyaman bisa jadi sayang, sayang bisa jadi cinta. Berarti nunggu 2 tahap lagi?” Adit berpendapat, memakai opsi untuk mendapat jawaban.

“Mungkin. Udah ah gamau bahas begituan.”

Setelah mengorek-ngorek percintaan Qilla, mereka semua kembali pada kesibukkan masing-masing. Kesibukaan yang tak berfaedah namun menyenangkan. Qilla yang sudah masuk ke dunia fantasti dalam khayalan novel, melupakan segala hal disekelilingnya.

Tak sadar, minuman Qilla yang berada di meja hilang dari tempat seharusnya. Minuman yang dibuatkan Lana itu sudah berpindah tangan ke seseorang yang berada di sampingnya.

Qilla melotot tajam dan siap mengamuk, “Abang, itu minum Qilla!”

Daren mendelikkan bahu tak peduli, “Bikin lagi sana.”

Mendengar kata-kata enteng itu, Qilla naik pitam, “Vanilla lattenya tinggal itu doang. Ih abang mah.”

“Yang lain kan ada.”

DILIGITIS (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang