R.A 8

1K 71 0
                                    

Delapan gadis yang telah selesai melakukan ulangan harian matematika, langsung pergi menuju kantin. Mereka butuh makan untuk mengisi kembali otak yang terkuras karena berkutat dengan angka-angka tinggi.

Kini, mereka tengah melakukan hal seperti biasanya; makan diselingi obrolan-obrolan absurd yang membuat penghuni kantin sedikit terganggu dengan kebisingan mereka. Itu tak akan pernah hilang. Sungguh. Tapi, untuk hari ini, salah satu anggota mereka memilih bungkam. Siapa lagi kalau bukan Qilla. Sejak kejadian kemarin, dimana Rafy dan Qilla mengobrol tentang perjodohan dan sebuah tawaran membuat Qilla berpikir keras. Entahlah, Qilla merasa ada yang tidak beres.

“Woy Qil!” teriak Ulan di telinga Qilla, membuat Qilla terperanjat kaget.

“Diem aja. Naber?” ledek Jhera dan Qilla hanya mendelikkan bahu. Matanya beralih mencari sesuatu yang enak di antara meja mereka. “Bagi Gado-gadonya, Ty,” ujar Qilla sembari menyuap makanan Raty tanpa menunggu persetujuan yang punya.

Lea menjitak ubun-ubun Qilla tanpa permisi, “Ketoprak bisa kali,” sembari menyuap ketoprak milik Qilla.

“Pedes, hati-hati!” peringat Qilla.

Benar saja dugaan Qilla. Jhera yang tak begitu suka pedas langsung menggap-enggap dan meminum air dengan cepat, “Anjirr…Lo masukin cabe berapa?”

“Tujuh,” jawab Qilla seadanya.

“Lambung lo nangis baru tau rasa!” sungut Lia

“Bodo amat,” ujar Qilla mengacuhkan.

Gantian, kini Indah menjitak Qilla, “Qill, lo belum cerita nih!”

“Apaan?”

“Yang kemarin Ka Rafyan nyariin lo,” jelas Raty

Qilla ber-oh ria saja tanpa menjelaskan apapun.

Ulan menjitak Qilla, “Oh, doang lagi!”

Qilla berdecak dan membanting kasar sendok yang ia genggam, “Astagfirullah!! Kepala, dahi, sama ubun-ubun Qilla tuh di fitrahin. Kenapa dijitakin mulu!!” kesal Qilla dan itu membuat temannya tertawa lepas karena tingkah Qilla yang mau aja di apa-apain.

“Lucu banget! Lanjutin,” kata Lia yang belum terhenti tertawa. Ia sampai terpingkal-pingkal. Dasar Lia.

Qilla berdecak dan memilih menjawab pertanyaan yang sempat terlontar tadi. Guna menghentikan tawa teman-temannya, “Ga penting. Dia nanya doang. Because dia anaknya teman Ayah.”

Yang lain hanya merespon dengan anggukan, kemudian kembali memakan-makanan mereka yang sempat di angguri dan ada pula yang asik bermain ponsel karena telah usai menyantap makanannya.

“Qilla,” panggil seseorang yang membuat si empu nama menoleh ke sumber suara, begitu pula dengan yang lainnya.

Qilla mengernyit tak bersahabat, “Siapa ya?”

“Masa lupa?”

“Emang perlu banget diinget? Kenal aja engga kan,” sungut Qilla tanpa ingin mengingat sama sekali.

“Gue Vian temannya Rafy, yang nanyain lo kemarin disini sebagai Asya.”

Mata Qilla membulat, “Astagfirullah. Bilang dong! Jadi ga sopan kan.”

Yang lain tertawa tanpa bersalah, “Maaf ya kak, suka begitu dia. Nyolot sama orang baru,” ujar Indy.

“Tapi sama kakak kelas takut,” lanjut Indah

Qilla menatap garang teman-temanya, “Berisik. Makan aja!”

“Kata Rafy suruh cek pesannya. Gue duluan. Seneng bisa kenalan,” ujar Vian sembari tersenyum menggoda dan pergi dari tempat Barshy.

DILIGITIS (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang