R.A 58

114 17 1
                                    

Perihal beberapa hari yang lalu, jangan dibahas. Hati perempuan memang selemah itu dan butuh bangkit lagi dengan tidak mudah. Tenang saja, hari itu menjadi rahasia Patra dengan dirinya saja. Qilla sudah meminta kepada Patra untuk menjaga mulutnya. Terutama terhadap Paskal. Cowok menyebalkan itu pasti tidak akan diam saja. Mengingat beberapa hari terakhir ia selalu mencampuri urusan percintaannya.

Cukup senang. Hari ini, dirinya dan Viero menghabiskan waktu bersama. Lebih tepatnya Qilla yang memaksa. Sekedar menonton bioskop, lalu pulang. Akhir-akhir ini patah hatinya semakin merajalela. Semua masih tentang Rafy. Padahal dengan Bian saja, ia tak sampai seperti ini. Helaan nafas keluar begitu saja.

Masuk ke dalam rumah dan mendapati seorang Paskal yang tengah sibuk dengan laptop dihadapannya. Duduk disampingnya dan melirik apa yang sedang dikerjakan. Benar saja dugaannya. Tugas negara dari seorang Mahesa Pradipta Hartawijaya. “Abis dari mana?”

“Jalan sama Viero,” jawabnya seraya melepaskan sepatu.

“Jangan keseringan.”

Peringatan itu lagi yang harus didengar. Kalau kemarin Qilla mengacuhkan, hari ini tidak akan. “Kenapa?”

“Kebiasaan bisa jatuh cinta,” tembaknya tanpa menoleh kepada Qilla.

Tangannya gatal, memukul kepala Paskal dengan kertas kerja yang menganggur diatas meja, “Kejauhan!”

“Dibilangin.”

“Dia Viero, mahkluk dingin yang ga gampang buat jatuh cinta. Apalagi sama Qilla yang absurd kek gini.”

“Udah berapa kali gue bilang, isi hati orang kita ga akan tahu,” tegas Paskal tak mau kalah.

“Jangan terlalu deket,” peringatnya kembali.

Jujur. Ia tak tahu kenapa Paskal begitu memusingkan dirinya. Biasanya pria itu biasa aja, peduli tetapi tak sampai seperti ini, “Kenapa sih Kal, Viero sahabat Qilla. Gabisa gitulah.”

“Jangan terlalu manja dan tergantungan sama dia. Lo punya banyak abang-kakak harusnya lo ga kekurangan untuk itu.”

Mulutnya mengangga tak percaya. Kenapa bisa Paskal berkata seperti itu? Qilla tak habis pikir dengan pikiran Paskal yang begitu jauh. “Maksudnya apa? Paskal ngira Qilla deketin Viero karena haus akan kasih sayang?”

Tak ada sahutan. Itu membuat Qilla terpancing untuk terus melanjutkan kata-katanya yang tertahan emosi, “Sepatah hatinya Qilla, ga ada niatan untuk ngelakuin itu.”

“Orang lain beda lihatnya. Perasaan orang kalau sudah jadi kebiasaan dan berkembang, siapa yang bisa nolak?” sahutnya masih dengan tenang. Cowok itu selalu mengatakan apapun tanpa emosi, bahkan bisa dibilang datar tanpa nada. Namun, menyebalkan sekali rasanya.

“Yang penting Qilla ga suka,” acuhnaa.

“Pikirin hati orang lain.”

“Qilla selalu mikirin itu kok. Paskal gatau kan udah seberapa banyak luka Qilla yang ada karena terlalu pikirin hati orang lain.”

Paskal menoleh kali ini, mengabaikan tugasnya sementara, “Gue tahu semuanya. Tapi untuk beberapa hari ini, lo terlihat egois.”

“Terserah.”

“Jangan deket,” perintahnya lagi dan lagi.

Jelas Qilla tak akan mau mendengarkan. Dia mempunyai hak. Lagian tak ada salahnya berteman dengan Viero, “Ga.”

“Bisa ga sekali dengerin gue?”

“Setiap hari juga dengerin Paskal.”

“Akhir-akhir ini lo keras kepala.”

DILIGITIS (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang