R.A 20

692 60 0
                                    

Qilla pulang dengan keadaan yang lumayan basah. Sempat kehujanan tadi. Bian mengantarkannya sampai depan rumah tapi tidak sempat mampir. Buru-buru katanya.

Malam ini malam bahagia Qilla. Bian memberi Qilla kejutan Anniversery mereka. Qilla saja lupa. Qilla tak abis pikir dengan yang diberikan Bian. Sebuah gaun indah beserta ajakan dinnernya. Lalu, kue buatan Bian sendiri dan boneka koala ukuran raksasa. Qilla tersenyum kembali membayangkan setiap detik kejadian yang baru di alami. Bikin Qilla uring-uringan sendiri. Pasti dirinya tidak akan bisa tidur nanti.

Qilla terperangah kala melihat Rafy duduk manis di teras rumahnya.

“Rafy masih disini?”

Rafy berdiri menyambut Qilla,  “Nunggu princess rumah ini pulang.”

“Ngapain nunggu Qilla?”

“Mau ngajak jalan.”

“Qilla bilang Ayah dulu ya?”

“Udah diizinin.”

“Yaudah,” ujarnya seraya meninggalkan Rafy diteras.

Rafy mencegah dengan menarik lengan Qilla, “Mau kemana?”

“Mau naruh ini sebentar di dalem,” unjuknya pada boneka dalam pelukkannya dan kue yang ada di pegangannya.

Lengan Qilla kembali tertahan saat hendak ingin berbalik. Dahinya berkerut, belipat-lipat meringsut. Menatap Rafy kusut. “Kenapa lagi? Pegel ini, Fy.”

Sebuah gelengan serta senyuman menjadi balasan, “Lo cantik malem ini.”

Qilla mendesis, “Terus kemarin ga gitu?!” Ia menghentakan kaki kesal, meninggalkan Rafy yang sibuk tertawa bahagia karena berhasil menjahili.

Tak lama kemudian, Qilla kembali. Dengan pakaian yang sudah berganti. Menjadi gadis kecil lagi. Bukan wanita cantik seperti tadi. Tampilan sejahat itu, mengukur umur yang tak menghendaki. Dan kalau boleh jujur, Rafy lebih menyukai Qilla detik ini.

“Ayo!” ajak Qilla.

Rafy mengangguk, menghampiri motor kesayangannya. Diikuti Qilla yang menjadi penumpang specialnya.

Suasana malam ini begitu dingin, bagaikan jarum yang menusuk-nusuk. Terlebih lagi, Qilla hanya memakai tanktop dress hitam sepaha dengan atasan berlapis jaket kulit hitam. Bukannya kedinginan, Qilla malah terasa hangat. Bagaimana tidak? Tangan Qilla ditarik paksa Rafy untuk memeluk cowok itu. Agar menghangat. Qilla suka pelukkan itu. Jadi, ia memilih untuk tidak menolak. Selagi, itu menguntungkan.

Qilla hampir memejamkan mata, kalau saja Rafy tidak mengintrupsi untuk tetap sadar. Soalnya, mereka sudah sampai tempat tujuan. Qilla mengadah keatas, memandang bagunan yang kurang pencahayaan di depannya.

“Ini tempat Qilla kenal deh.”

“Jelas lo kenal. Waktu itu siapa yang ngajakin lo bikin galaksi disini?" Qilla mengingat itu. Lalu, tersenyum membayangkan kejadian yang masih hangat dikepalanya. Rafy menggeret Qilla masuk dengan mengenggam pergelangan Qilla. Membawanya ke lantai tiga, tempat markas mereka berkumpul.

“Oh sekarang Rafy bawa cewe,” suara Vian menggema hingga memasuki pendengaran Qilla.

Jefta menimbrung, “Udah gede ya abang gue.”

“Mau ngapain Rafy?” tanya Varo menggoda.

“Aduh Qilla masih polos Rafy,” peringat Odin sembari tersenyum nakal

Rafy mendengus dan menoyor kepala Odin, “Otak lo benerin!”

“Sakit anjing.”

Tangan Rafy mengadah kepada Jefta, “Mana barang yang gue minta?”

DILIGITIS (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang