R.A 36

515 42 1
                                    


“Bangun, Asya.”

Qilla mengeliat pada tidur pulasnya. Suara beserta guncangan di tubuhnya, sangat mengganggu tidur. Namun, Qilla tak kunjung membuka mata. Membuat penganggu itu serasa kehabisan kesabaran. Mencoba membangunkan dengan cara seperti yang sudah-sudah.

Tidak lain tidak bukan, mengancam Qilla menggunakan situasi perjodohan. Berbisik di telinga gadis itu. Membiarkan telinga Qilla terusik. Hingga, Qilla terbangun dan tergelak. Membuka matanya lebar-lebar.

“Rafy?”

Yang dipanggil tersenyum. Membantu Qilla duduk bersandar pada ranjang tidur. Setelah itu, tangan Rafy tak langsung diam. Mencoba memberi kehangatan yang membuat hati Qilla berdesir.

Qilla masih tak percaya, sosok yang memeluknya sekarang. Ia melepaskan dengan paksa, menangkup wajah Rafy untuk melihat kenyataannya. “Qilla mimpi?”

Dengan tega, Rafy mencubit kedua pipi Qilla kencang, mencoba menyadarkan gadis itu kalau dirinya tak sedang bermimpi. Qilla merintih kesakitan, mengelus pipinya yang memerah. Sedangkan Rafy tersenyum smirk, “Masih ngira mimpi?”

Mendengus, sisi Rafy yang menyebalkan itu keluar. “Ngapain disini? Ini jam berapa?”

Sontak, Qilla menengok kepada jam waker yang ditempatkan pada meja sebelah tempat tidurnya. Qilla melotot, “Astagfirullah, ini tengah malem!”

“Sengaja.”

Qilla berkacak pinggang, “Udah izin bunda main masuk-masuk aja?!”

“Gue lewat balkon pake tangga,” jujur Rafy santai.

“AP----”

Segera Rafy membekap mulut cerewet itu dan memandangnya gemas. “Jangan teriak nanti Bunda denger. Ikut gue sebentar ya?”

“Rafy mau nyulik Qilla?”

“Iya. Sebentar aja.”

Qilla menurut pada tarikan Rafy yang memaksa. Mengikuti semua perintah, tanpa berani menghardik. Wajah Rafy yang tak biasa tanpa ekspresi, membuat Qilla takut. Sebelumnya, memang sudah pernah merasakan ekspresi datar yang menyeramkan itu, tetapi rasanya kali ini berbeda.

Kembali pada aksi penculikan Rafy. Mereka telah tiba di bawah, halaman rumah Qilla. Turun menggunakan tangga yang Rafy gunakan untuk naik tadi ke balkon kamar Qilla. Tidak terlalu sulit dan tidak membuatnya takut akan ketinggian. Namun, saat Qilla keluar dari gerbang rumah, matanya hanya menangkap jalanan gelap tanpa penerangan.

Bulu kuduk Qilla meremang, angin malam menusuk pada tubuh yang tak terbalut dengan pakaian hangat. Bermodal baju tidur lengan pendek serta celana tidur panjang bermotif kambing.

Qilla menepis jarak pada Rafy. Menghampit tangan cowok itu, lalu menyembunyikan wajah dibalik lengannya. “Serem Rafy.”

Rafy melepaskan tangan Qilla dari lengannya dan mengambil slayer di saku celana. “Gue tutup mata lo. Ikutin arahan gue ya?”

Qilla mengangguk. Memberikan Rafy izin untuk menutup matanya. Setelah terpasang sempurna, Rafy menatap Qilla seraya tersenyum sedu, lalu menyematkan jari-jarinya pada tangan Qilla yang dingin. “Genggamannya jangan di lepas.”

Satu kalimat yang membuat detak jantung Qilla berdetak tak normal. Bekerja dua kali lipat dari biasanya. Qilla tak tahu harus apa selain tersenyum. Rafy yang sudah di sakiti, masih berbaik hati. Walaupun sikapnya menyakiti.

Rafy membawa Qilla terus melangkah tanpa berucap sepatah kata lagi. Membiarkan keduanya membisu, tanpa ada yang ingin mencari topik lebih dulu. Jauh dari lubuk hati Rafy, tidak ada satu hal yang terlepas dari tentang Qilla. Mau itu hatinya bahkan hari special Qilla yang telah siap dipersembahkan Rafy.

DILIGITIS (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang