R.A 55

116 17 7
                                    

“Qilla!”

Panggilan itu menggema pada ruangan putih menuju pada halaman belakang cafe yang sengaja di booking untuk melepas rindu. Suara itu membelakanginya dan ia tau siapa pelakunya. Qilla berdiri, membalik dan tersenyum manis.

Senyumnya perlahan dibuat hilang, menjadi rengutan. Lalu, ia bersidekap menyelidik tajam kepada mereka yang datang, “Telat 20 menit!”

Barshy.

Iya itu mereka.

Tidak salahkan mengahabiskan liburan sehari bersama mereka? Lagipula, ia sedang bebas-bebasnya dari pengawasan. Tenang, ia sudah meminta izin terlebih dahulu. Bisa dibilang awalnya ia gagal, namun kembali lagi pada sifatnya yang keras dan siapa yang berani menolak permintaan Qilla? Sekali itupun dengan Ravengers, tidak akan bisa.

Mengingatkan itu, alasan yang Qilla pakai cukup di mengerti dan menyayat hati. Walau nyatanya harus sedikit mengeluarkan tenaga yang rasanya kurang pantas bila diutarakan. Mengakibatkan perang dingin beberapa jam. Ravengers menyerah dan memilih membiarkan Qilla dengan kemauannya. Jadi, setelah ini tidak ada lagi kebohongan yang harus diperbesar. Ah, meski Qilla berbohong pun, Ravengers akan tahu. Percuma saja.

Tangan berisi milik Indah menoyor dahi Qilla seenaknya, “Lo kok dateng?”

“Kita kira ga akan dateng, gara-gara dilarang sama pejaga-penjaga lo itu,” tambah Lia menjelaskan

“Nah, iya?! Betul itu. Ngapain lo?”

Tangannya yang dilipat di dada itu refleks turun, mengambil tas selempangnya yang berada di meja belakang ia berdiri, “Qilla ga diterima nih? Yaudah Qilla pulang aja.”

“Baper!”

Belum sempat melangkah, ucapan Ulan membuatnya mengurungkan niat. Qilla menyengir dan kembali menaruh tasnya di meja seperti semula.

“Tapi bener deh, kok lo dateng? Bukannya dilarang main sama kita?” tanya Indah mengulang.

Qilla berdecak tak suka, “Denger dari mana sih begitu?”

“Telinga kita mah dimana-mana,” sahut Jhera percaya diri.

“Betul itu!”

Sumpah. Itu Lea sedang kena virus Ipin. Baru dua kali saja, telinga Qilla sudah jengah mendengarnya.

“Mereka bukan maksudnya g---”

Indah memotong, “Bukan gimana? Makin jauh lo sama kita.”

“Qilla disini. Jauh darimana?”

“Ck. Bisa banget jawabnya,” sungut Lia masih tak terima.

Harusnya ia tahu sejak lama, kalau ada sebuah kesalahan yang harusnya ia pendam. Tak seharusnya ia membagi dua hati seperti ini. Ravengers dan Barshy. Qilla menghela nafas perlahan, menetralkan emosi yang bukan seharusnya ia tuangkan. Bukan kepada Barshy. Bukan juga kepada Ravengers. Melainkan kepada dirinya sendiri.

“Biar itu jadi urusann Qilla ya? Qilla minta maaf deh atas tindakan mereka kalau itu bikin kalian risih atau bahkan sakit hati. Tapi percaya, mereka itu baik. Cuman butuh waktu aja untuk nerima kalian dengan baik, karena mereka pemilih. Suatu saat Qilla ajak kenalan sama mereka,” tutur Qilla lemah.

“Tapi tetep aja ka---”

Suara geretan kursi kasar terdengar mencuri perhatian. “Yang penting dia disini. Itu udah lebih baik.”

Indah menoleh, melotot kepada Raty yang nampak tak bermasalah sama sekali. Menyuruh teman-temannya yang lain untuk ikut duduk mengambil posisi. Indah berdecak dan memilih mengalah. Ia pikir memang itu tak seharusnya dilakukan. Sedikit lepas kendali.

DILIGITIS (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang