R.A 57

132 15 6
                                    

Seperti hari-hari sebelumnya. Qilla merepotkan Viero kembali. Menunggu cowok itu di parkiran. Kalau saja Viero tak datang di hidup Qilla. Sudah dipastikan, ia akan kelabakkan sendiri.

Hampir sepuluh menit menunggu, Qilla merasa bosan tak tertolong. Tidak biasanya, Viero lama seperti ini. Qilla yakin, cowok itu mengurus hal club futsalnya atau menghadap beberapa guru. Maklum anak kesayangan guru. Baru saja dibicarakan, Viero muncul dengan seorang lelaki yang Qilla tahu namanya adalah Noki, anak IPA 3 yang menjabat sebagai Kapten Futsal.

Noki menyikut lengan Viero, lalu dagunya terangkat menunjuk perempuan yang tengah duduk di atas motor Viero seraya menatap ke arah mereka berdua. Viero mengikuti pandangan Noki dan tersenyum simpul melihat Qilla dari kejauhan.

“Viero!” panggil Qilla sembari melayangkan lambaian tangannya. Setelah itu, Viero berpamitan pada Noki dan menghampiri Qilla.

Perempuan itu tak berhenti tersenyum konyol di depan Viero. Kalau sudah begitu, Viero tahu maksudnya. “Nebeng boleh?”

Benar saja dugaannya.

Mengabaikan Qilla dan beralih menggambil helmnya di atas spion motor, lalu diberikannya kepada Qilla, “Qilla ga mau pakai helm, yang ngendarain kan Viero.”

“Keselamatan penumpang lebih penting.”

“Gamau.”

“Gausah bareng,” ujarnya halus, namun tegas. Qilla panik sendiri. Buru-buru ia merebut helm di tangan Viero dan langsung memakainya. Diem-diem Viero tersenyum tipis. Sangat tipis dan sekilas. Tentu Qilla tak melihat. Perempuan itu sibuk dengan helmnya.

“Cafe?”

Qilla mengangguk dan menaiki kursi penumpang. “Paskal?” tanya Viero lagi.

“Sibuk ngurus bengkel sama cafe.” Setelahnya mereka berdua meleset pergi, meninggalkan parkiran sekolah yang terisi berbagai jenis anak sekolahan.

“Qil,” panggilnya pelan dibalik helm. Beruntung masih bisa terdengar oleh Qilla yang telinganya setengah-setengah.

“Ya Vier?”

“Rafy gi---”

Segera Qilla memotong. Qilla tahu akan seperti apa kelanjutannya. Pernah sekali, mereka berdia bertengkar karena Viero yang menanyakan Rafy disaat yang tidak tepat, padahal Viero tak tahu apa-apa hanya sekedar bertanya dengan alasan mau bermain ps bersama. Kali ini Qilla gamau hal itu terulang, “Gatau.”

“Coba dihubungin?”

“Nomernya sibuk. Qilla ga berani kerumahnya takut masih ujian masuk kuliah,” jawabnya dengan cepat. Nadanya naik-turun menahan emosi. Tepat mengatakan itu, motornya berhenti di depan Cafe milik Paskal.

Tak membuang waktu, Qilla langsung turun dari motor dan memberikan helmnya, “Nah. Makasih ya Viero selalu mau Qilla repotin.”

“Biasa.”

“Patra kerja disini, Vier tahu?”

Viero mengangguk, seraya mengikat helm ditangannya dan menatap Qilla, “Tahu. Kenapa?”

“Gapapa. Yaudah Qilla masuk ya?”

Baru ingin berbalik, Viero menahan pergelangan Qilla, membuatnya mengernyit keheranan, “Kenapa?”

“Hati-hati,” cicitnya pelan sambil melepas tangannya yang bertengker di pergelangan tangan Qilla. Seakan sadar itu terlalu berlebihan.

Lantas Qilla tertawa mendengar penuturan yang begitu pelan. Buat apa berucap seperti itu jika tinggal lima langkah saja, Qilla sudah masuk ke tempat yang aman. “Vier, Qilla cuman masuk kedalem. Harusnya Qilla yang bilang hati-hati karena rumah Viero jauh dari sini.”

DILIGITIS (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang