R.A 53

129 23 32
                                    


14.30 PM


Hari ini keberangakatan Arimba ke Paris. Genggaman tangan tidak ingin dilepaskan sama sekali oleh Arimba. Rasa tak rela itu sampai pada Qilla, namun mencoba untuk tak menahan kepergian. Qilla sadar ia tak pantas lagi untuk hal itu setelah menyakiti hati Arimba. Walaupun sebenarnya, ia ingin sekali menahan. Arimba masih bagian dari separuh jiwanya, yang selalu merawat dan menyembuhkannya.

Hanya berdua. Antara Arimba dan Qilla. Tak ada yang mengetahui keberangkatan dokter ganteng itu. Teringat akan kali pertemuannya dengan Arimba yang mengesankan. Qilla yang tak suka rumah sakit dan Arimba datang ke mansion untuk pertama kalinya dengan tampang galaknya. Dulu, Qilla mengamuk terang-terangan masalah ia yang tak suka Arimba karena menyeramkan dan selalu menjahili Arimba jika ingin berkunjung ke mansion untuk mengecek keadaannya. Walau begitu, Arimba tak pernah marah. Hingga akhirnya, Qilla dapat diluluh-lantahkan.

Suara pramugari atas panggilan kota tujuan telah dikumandangkan. Arimba berdiri diikuti Qilla yang tak kunjung dilepaskan. Memeluk Qilla dengan erat serta mencium dahi Qilla begitu lama. Mati-matian Qilla menahan rintik hujan pada pipinya agar tak segera turun. Berusaha menampilkan senyum ikhlasnya dan memupuk punggung Arimba tanda ketenangan. “Jaga diri baik-baik ya Bang.”

“Aku sayang kamu, Qilla.”

“Jangan bikin Qilla buat nahan,” kata nya memperingati. Arimba tersenyum. Ia mengerti kalimat tak rela itu. Dilepasnya pelukkan dan perlahan mundur dengan pasti.  Memasuki gate yang tersedia. Qilla masih memandangi Arimba begitu sebaliknya. Tersenyum manis dengan lambaian tangan yang tak berhenti sampai benar-benar menghilang dibalik pintu besar sana.

Tangisan Qilla langsung pecah. Merintik sedikit demi sedikit dan menyakitkan. Satu orang paling berharganya telah pergi. Membawa sakit hati karena dirinya sendiri. Dan paling menakutkan, Qilla takut hal itu terjadi lagi.

Sudahlah. Ia tak seharusnya memikirkan. Melangkah lunglai mencari taksi untuk mengantarnya pulang. Ada janji yang harus ia tepati hari ini dan sudah telat dari jam yang seharusnya.

-®©®-

Turun dari taksi jauh dari perkarangan rumah Rafy. Sengaja. Takut ditanya hal yang melebih. Pasalnya, tak ada yang akan membiarkan Qilla naik taksi sendiri tanpa sepengetahuan. Begitulah jadinya. Harus bersembunyi dari balik rahasia yang ia pendam. Berjalan sedikit dari beberapa blok.

Terlihat sudah, sosok lelaki yang menunggu Qilla sejak tadi. Jadi tak enak hati. Memencet bel untuk menyadarkan Si tuan rumah yang asik pada dunia media di teras sana. Rafy tergelak jauh dari mata Qilla. Lalu, berlari menghampiri seraya membukakan gerbang.

“Rafy!” pekik Qilla menerjang Rafy kedalam pelukkan. Dibalasnya dengan hangat dan tak kalah erat.

Kemudian melepas, saling menatap, dan terkekeh pelan, “Nungguin? Katanya pulang isya?”

“Izin. Ada yang kangen berat keknya.”

Qilla meringis tak enak hati. Lalu, memukul lengan Rafy karena kesalahan yang seharusnya tak diperbuat. “Ish kacau, bolos kan!”

Omelan Qilla hanya dianggap angin lewat, malah tertawa seraya membenahi tatanan rambut Qilla yang sedikit berantakan.  “Abis darimana? Dichat ga dibales, Di telp ga diangkat.”

“Itu pergi sama Jhera terus lupa bawa hape.”

‘maaf ya allah’ Semua orang pasti pernah berbohong dan mempunyai alasan tersendiri dalam melakukannya.

“Pantes.”

“Sekarang, mau kemana?” tanya Rafy memastikan kepergian.

Qilla menimbang, lalu ingat akan tempat yang cocok untuk berduaan, “Ke Mansion Ravengers?”

DILIGITIS (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang