R.A 51

157 24 3
                                    

“Asya.”

“Hey!” Ditepuk-tepuknya pipi Qilla berulang kali. Namun sayangnya, belum ada tanda Qilla akan membuka matanya. Beralih menjepit kedua hidung Qilla agar sesak, kehabisan oksigen. Benar saja. Qilla menggeliat dalam tidurnya. Meronta-ronta memukul tangan yang membuatnya hilang oksigen.

Samar-samar ia melihat wajah yang sangat familiar dan akhirnya menyebut nama pemuda dihadapannya, “Rafy?”

Matanya belum sempurna membulat. Mengucek-ngucek untuk memastikan seraya bersandar pada sanggahan. “Qilla mimpi?”

Rafy tersenyum, merapih rambut yang menutupi muka bantal Qilla, “Engga, sayang.”

“Kok bisa disini?”

“Bisalah.”

“Diizinin gitu sama Ayah-Bunda bertamu malem gini?”

Tidak ada jawaban. Membuat Qilla sadar akan kejadian yang benar-benar terulang lagi. “Rafy dateng lewat mana?”

“Tuh,” tunjuknya pada jendela yang dibiarkan terbuka.

“Berasa de javu.” Rafy tergelak, mengingat kejadian dimana memberikan kejutan ulang tahun kala bertengkar hebat. Ia jadi meruntuki sendiri kesalahannya dalam hati. Lalu, tersenyum mengajak Qilla.

“Ikut gue yuk?”

“Kemana? Nanti kalau Ayah sama Bunda tau gimana?”

“Kamu diem, mereka ga akan tau,” katanya seraya menyodorkan hoodie kepunyaan Qilla yang tersampir di pintu lemari.

“Udah?” tanya Rafy memastikan kesiapan Qilla yang mengenakan baju tidur terbalut dengan hoodie kebesaran kepunyaannya. Sungguh menggemaskan.

“Udah.”

“Yuk!” Menarik tangan Qilla menuju pintu balkon. “Turun lewat balkon?”

“Mau ketauan Ayah-Bunda?”

“Kenapa ga minta izin aja?”

“Ceritanya gue mau nyulik lo.”

Konyol. Qilla sampai dibuat geleng-geleng kepala dengan rencana Rafy. Begitu saja, Qilla mengikuti alur permainannya, tak mau tahu apa yang akan diberikan di depannya atau sampai menerka-nerka. Biar saja Rafy membuat semuanya sesuai rencana yang telah tersusun. Qilla selalu suka kejutan dari Rafy. Tergolong umum, namun menyenangkan. Entah karena memang dia yang menjadi point utama atau ada hal lainnya. Qilla belum tahu. Yang penting, Qilla senang.

Dijaganya Qilla dari bawah. Rafy turun lebih dulu menggunakan tangga yang sengaja dibawa. Tidak pakai tali seperti di film-film. Merepotkan. “Rafy niat amat bawa tangga segala.”

“Apa yang ga niat buat lo?”

“Gimbal!”

Layaknya maling, mereka mengendap-endap keluar perkarangan rumah. Menyusuri jalan perumahan yang sepi. Hampir tengah malam. Rafy memang gila. Dirapatkannya Qilla kedalam rangkulan Rafy yang menghangatkan. “Kemarin, jadi ketemu pacarnya Viero?”

“Jadi.”

“Udah ketemu dong?”

Qilla mengangguk, “Tapi dia udah meninggal. Kemarin, Qilla diajak ziarah sekaligus kenalan.”

DILIGITIS (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang