R.A 21

699 52 3
                                    

“Abis darimana lo, Qil?” tanya Indah yang tak sengaja berpas-pasan digerbang sekolah. Untuk hari ini, tak ada yang menemani Qilla piket. Soalnya jam terakhir tadi, teman-temannya pada mencar untuk mengurus demo eskul masing-masing.

“Piket lah diatas.”

“Quality time yuk!” ajak Indah sembari merangkul Qilla dengan bebas. Kalau Indah sudah begini, tandanya Indah sedang mengejek Qilla yang lebih pendek darinya.

Qilla mendengus, “Dimana?”

“Dirumah Ulan.”

Qilla menimbang-nimbang sebelum akhirnya memutuskan, “Nyusul deh”

“Sekalian.”

Qilla menggeleng, “Udah janji sama Rafy, bentar.”

“Kalau udah urusan cowok mah susah,” cibir Indah seraya mengejek.

Reflex Qilla memukul lengan Indah pelan, “Yeh, sialan.”

Indah membalas dengen acungan jari tengahnya ke udara sambil berjalan meninggalkan Qilla sendiri dan bukannya tersindir atau marah, lantas Qilla tertawa melihat Indah melakukan hal itu.

Tawa Qilla berhenti, saat sebuah motor berderum di hadapannya. “Ojek! Dengan Mba Qilla?”

Qilla terkekeh kecil dan mencibir, “Lama.”

“Maaf tadi di jegat anak-anak.”

Qilla melotot polos, “Rafy punya anak?”

“Bukan. Si Vian dkk”

“Qilla tau,” ujar Qilla sembari menaiki posisi penumpang di jok belakang Rafy yang dikhususkan untuknya.

Untuk informasi, Rafy pernah bilang ke Qilla bahwa tidak ada perempuan yang Rafy bonceng kecuali Mamah Rafy dan Qilla. Sontak, saat pertama kalinya Qilla tak percaya dan mencari tahu sendiri kebenaran itu melalui kaca mata dunianya, yaitu Ravengers. Jujur Qilla senang mendengar fakta dari seorang yang akan di jodohkan dengannya. Namun, kalau itu Bian, Qilla lebih senang bukan main. Qilla bisa saja lompat ke jurang untuk mendeskripsikan kesenangannya itu. Tetapi, beruntung itu tidak terjadi. Kalau Qilla mati, cerita ini selesai dong?

Ok, kembali kepada pembicaraan mereka berdua.

Rafy mendengus sembari memberi masker kepada Qilla, “Kenapa nanya?”

“Terserah mulut Qilla dong!” sungutnya tak terima dan memakai masker untuk menghindari polusi yang menyebar dimana-mana. Hal itu sudah terbiasa dilakukan Rafy untuk Qilla. Kata Rafy, itu demi kesehatan Qilla dan Qilla pun dengan senang hati menuruti. Kalau dipikir-pikir Rafy itu romantis banget hanya aja sikapnya yang sedikit dingin dan nyebelin membuat Qilla gemas sendiri.

“Dasar kecil,” ejek Rafy

Qilla menyubit pinggang Rafy sampai membuat yang punya pinggang mengaduh kesakitan, Qilla tertawa dan menaruh dagunya di pundak Rafy. Manjanya kumat.

“Rafy,” panggil Qilla dengan nada manja khasnya.

Rafy tersenyum menanggapi dan melihat wajah Qilla dari spion motornya, “Kenapa?”

“Anterin Qilla ke rumah Ulan ya?”

Rafy terkekeh, “Kemanapun abang anter neng.”

“Jayus!” ujar Qilla sembari menepuk bahu Rafy. Selanjutnya, Rafy melajukkan motornya menjauh dari lingkungan sekolahnya. Melewati beberapa lampu merah yang cukup memakan waktu. Hal itu membuat keduanya memiliki perbincang sedikit mengenai beberapa hal, contohnya tentang hari ini yang mereka jalani atau tentang sebuah lagu yang mereka gemari bersama sampai dengan konsernya. Tak jarang keduanya berdebat tentang hal yang mereka ceritakkan.

DILIGITIS (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang