14

16 5 0
                                    


Oktober 2006

"Baca apaan?" tanya Oka yang baru saja memasuki kelas.

"Buku biologi, biar cepet pinter," jawab Amanda sambil menandai sesuatu pada bukunya.

Tahun ini Oka dan Amanda sudah memasuki kelas sebelas. Sebuah kebetulan karena mereka berada dalam satu kelas. Di SMA Mandala, satu kelas saat kelas sebelas berarti akan berlanjut hingga kelas dua belas.

"Emang bisa pinter kalau baca doank kayak gitu?" cibir Oka.

"Lumayan lah, ini sebagai bentuk rasa syukur aku udah bisa masuk kelas IPA. Jadi kalau ada kesempatan baca atau belajar, ya dimanfaatin. Aku kan ngga pinter dari lahir kayak kamu," balas Amanda dramatis.

"Kan aku udah bilang, mau masuk IPA atau IPS ngga ada bedanya. Emang mau jadi apa kalau masuk IPA? Toh IPS juga banyak yang jadi orang pinter. Bisa jadi psikolog, akuntan, pengacara, reporter, atau malah manajer," Oka mengulang ceramahnya dulu saat Amanda begitu frustasi dengan nilainya yang akan menyulitkannya memasuki kelas IPA.

"Iya. Tapi udah aku bilang juga kalau papa aku pingin aku masuk IPA," gadis itu ikut mengulang alasannya mati-matian ingin berada di jalur sains.

"Mama kamu ngga masalah tuh, katanya,"

"Ah, udah deh. Yang ngadepin papa aku kan aku, bukan kamu," Amanda yang kesal dengan kata-kata Oka mencubit lengan temannya itu.

Oka justru tertawa melihat reaksi Amanda, "Iya iya, aku ngerti,"

Gadis itu cemberut. Dirinya sudah sengaja menyempatkan diri belajar di tengah hiruk-pikuk acara ulang tahun sekolah supaya kejadian tahun lalu tidak terulang lagi. Bagaimanapun dirinya tidak rela hanya karena terlena mengurangi jam belajarnya saat acara ulang tahun sekolah, kedepannya ia harus mati-matian belajar lagi seperti dulu.

"Ngga ke bazar? Mumpung masih pagi loh, belum banyak orang,"

Amanda menggeleng, "Rencananya mau kesana agak siangan, biar kalau lihat kak Yudhis ngga ketahuan,"

"Kenapa ngga dari pagi aja sih? Kan malah enak, ngga banyak orang," Oka berpura-pura tidak tahu bahwa gadis itu akan berusaha bersembunyi dari Yudhis, seperti biasa.

Tidak seperti Riani yang sering mengeluh dan kesal jika Amanda membicarakan Yudhis, Oka justru terlihat lebih memperhatikan apa yang terjadi antara Amanda dan kakak kelas mereka itu. Laki-laki itu, walaupun terlihat cuek, namun terkadang justru sering membantu mempertemukan Amanda dengan Yudhis. Kadang kala hanya memberi kabar terbaru tentang Yudhis untuk gadis itu. Sesuatu yang sederhana namun membuat Amanda senang.

Riani sendiri ternyata sudah berpacaran dengan teman sekelasnya di kelas sebelas ini. Sejak itu, Riani semakin jarang menemui Amanda. Ditambah lagi mereka masih tidak berada di kelas yang sama. Mereka kemudian lebih banyak bertemu pada pertemuan klub atau ketika mengerjakan majalah sekolah di ruang sekretariat klub.

Pada akhirnya, Amanda dan Oka menjadi dekat tanpa mereka sadari. Oka juga hampir setiap hari mengantar Amanda pulang. Terkadang sembari mampir ke rumah Amanda untuk mencicipi kue buatan ibu Amanda. Bahkan bisa dikatakan, sekarang ini Oka bukan hanya dekat dengan Amanda, tapi juga dengan ibu Amanda.

"Justru itu, kalau ngga banyak orang jadinya ntar aku gampang kelihatan. Kalau dia beneran nyadar gimana?"

Oka tidak mempedulikan kata-kata Amanda. Laki-laki itu justru berdiri dari tempat duduknya yang berada persis di samping gadis itu.

"Aku pingin ke bazar sekarang. Ayo bareng," ajaknya tanpa bertanya.

"Ih, aku kan udah bilang..."

Dazzling MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang