12

18 7 0
                                    


November 2005

Amanda memandang tugas matematika di hadapannya. Wajahnya muram, hampir menyerupai nama guru yang sedang mengajar di depan kelasnya.

Beberapa saat yang lalu Pak Mendung membagikan hasil tugas kelompok yang dikumpulkan minggu sebelumnya. Kelompok Amanda hanya mendaptkan nilai 7,2 sementara nilai yang minimal yang harus diperolehnya ketika pembagian rapor akhir semester adalah 7,5. Memang nilainya masih bisa ditingkatkan melalui nilai ulangan harian, tapi nilai ulangannya beberapa hari kemarin juga masih berada di bawah standar.

Gadis itu mendengus. Bukanya tidak pernah belajar, namun Amanda terbiasa menjadi salah satu yang terbaik di sekolahnya dulu sehingga ia tidak pernah berusaha belajar lebih keras. Masuk di sekolah terbaik di Denpasar nyatanya membuat dirinya harus kaget melihat hampir semua temannya adalah siswa-siswa terbaik dari sekolah sebelumnya. Sebagian besar bahkan sudah memiliki kampus tujuan dan mengetahui ingin menjadi apa saat bekerja nanti.

Dirinya merasa kecil, merasa saatnya berubah menjadi seseorang yang lebih baik. Tapi bagaimana caranya? Apa dirinya harus belajar mati-matian siang dan malam seperti saat kelas tiga dulu, saat dirinya ingin sekali masuk ke sekolah ini? Bahkan membayangkan harus hidup seperti itu saja sudah terasa berat.

Seharusnya sejak diterima di sekolah ini, Amanda tidak mengubah gaya belajarnya menjadi lebih santai. Akan lebih mudah baginya untuk memulai belajar seperti dulu jika kemarin dirinya tidak terlena mengurangi waktu belajarnya. Tapi nasi sudah menjadi bubur, sepertinya sekarang ia harus mengejar waktu belajarnya yang sempat terbuang, terutama saat rentetan acara hari ulang tahun sekolah.

Amanda masih memegangi tugasnya walaupun tahu nilai di sana tidak akan berubah. Jam pelajaran sudah usai dan beberapa teman sekelompoknya terlihat sudah melupakan nilai yang mereka terima tadi. Mereka memilih untuk menikmati jam istirahat sebelum dibuat kembali sakit kepala dengan pelajaran selanjutnya. Amanda sendiri memilih untuk tetap duduk di bangkunya. Malas untuk keluar kelas atau sekedar pergi ke kantin.

"Woi, nilai ulangan fisika kemarin udah dipajang di papan neraka!" seorang teman sekelas Amanda masuk sambil berteriak. Memberi pengumuman yang sontak membuat seluruh siswa di kelas Amanda berlari keluar.

Nilai ulangan harian di SMA Mandala memang akan dipajang di sebuah papan pengumuman di dekat perpustakaan. Murid-murid di sana menyebutnya papan neraka. Menempel nilai seperti itu membuat semua orang bisa melihat nilai yang terpampang. Beruntung bagi mereka yang memiliki nilai baik, tapi menjadi menakutkan untuk siswa yang memiliki nilai jelek.

Karena semua nilai terpampang dengan jelas, hal itu menjadi semacam hukuman sosial bagi mereka yang memiliki nilai jelek. Sebenarnya, seringkali siswa SMA Mandala tidak akan peduli dengan nilai orang lain dan lebih memilih berfokus pada nilainya sendiri. Namun bagi beberapa siswa, terdapat ketakutan berlebih jika nilai jelek mereka dilihat oleh orang lain dan dijadikan bahan ejekan.

Amanda lari secepat kilat setelah mendengar pengumuman tadi. Ada rasa panik yang menyerang karena gadis itu juga tidak bisa mengerjakan sebagian besar soal ulangan fisika minggu lalu. Sambil berdoa, Amanda berlari melintasi kelas demi kelas menuju bagian depan perpustakaan. Gadis itu hanya tidak ingin mendapat kabar buruk lagi hari ini.

Berdesakan dengan siswa lainnya, gadis itu berusaha mencapai bagian depan papan neraka. Beruntung sebagian besar siswa yang sudah mengetahui nilai mereka akhirnya meninggalkan tempat itu. Hanya tersisa beberapa siswa sekarang.

Amanda berdiri membeku di depan papan neraka. Dibekapnya mulutnya sendiri seakan tak percaya. Memiliki nama dengan awalan huruf A membuat namanya mudah dicari. Lebih memudahkan lagi karena diantara banyak nama yang terdaftar, namanya kali ini ditandai dengan stabilo berwarna pink. Gadis itu benar-benar hampir menangis.

Dazzling MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang