13

18 5 0
                                    


Februari 2006

Semester baru sudah berjalan hampir dua bulan. Amanda masih menjadikan Oka sebagai mentornya di pelajaran fisika dan matematika. Sejak kejadian semester lalu, Amanda lebih memilih diajari oleh Oka dibandingkan belajar bersama teman-teman sekelasnya. Setidaknya dua sampai tiga kali seminggu Amanda akan belajar di kelas Oka setelah jam pelajaran usai.

Oka yang dikenalnya sekarang, terlihat jauh berbeda dengan Oka yang dikenalnya di dalam Klub Jurnalis. Walaupun Oka masih sering galak, berbicara pedas atau menunjukkan wajah datar, tapi Amanda tahu bahwa sebenarnya Oka adalah pribadi yang baik, hanya saja laki-laki itu memilih membatasi dirinya ketika berteman.

Oka tidak mau terlalu dekat dengan orang lain dan tidak pernah membicarakan apa pun tentang dirinya sendiri. Meskipun sekarang mereka sering menghabiskan waktu bersama, laki-laki itu tidak pernah membicarakan hal lain kecuali yang berhubungan dengan pelajaran di sekolah. 

Yang mengherankan adalah, ketika Amanda membicarakan sesuatu yang berhubungan dengan jurnalis. Oka seringkali tidak menanggapi atau hanya menjawab dengan cuek. Dari sana Amanda menyimpulkan bahwa kehadiran Oka di klub itu memang sebuah keterpaksaan.

Riani terheran-heran ketika Amanda memberi tahunya bahwa sekarang gadis itu sering belajar dengan Oka. Riani dan anggota Klub Jurnalis lainnya masih mendapat perlakuan ketus yang sama dari Oka. Saat pertemuan klub pun Oka bersikap seolah tidak mengenal Amanda. Hal itu membuat Riani sampai saat ini tidak percaya bahwa Oka bisa menjadi seseorang yang berbeda di luar klub.

Hari ini, seperti beberapa hari lainnya, Amanda duduk berhadapan dengan Oka sambil mengerjakan soal-soal fisika. Oka sendiri sedang mengutak-atik sesuatu di laptop. Dirinya memiliki tugas biologi bersama kelompoknya yang harus dipresentasikan beberapa hari lagi. Namun karena hanya Oka yang memiliki laptop, teman-teman lainnya meminta Oka yang mengurus tampilan presentasi mereka.

Dari balik layar laptopnya, Oka bisa melihat Amanda beberapa kali mencuri pandang ke arah ruang seni rupa. Sebenarnya sudah beberapa kali Amanda melakukan itu jika kebetulan hari mereka belajar berbarengan dengan hari dimana Klub Seni Rupa sedang berkumpul.

"Ehem, mau ngerjain apa mau ngelihatin anak seni rupa terus?" tegurnya tanpa memalingkan pandangan dari laptop.

Amanda memanyunkan bibirnya dan kembali menekuni soal yang sedang ia kerjakan, "Cuma istirahat bentar kok," kilahnya.

"Inget yang sedikit demi sedikit lama-lama jadi bukit," seloroh Oka tanpa ekspresi seperti biasa.

Amanda menopangkan kepalanya pada satu tangan. Kalau sudah begini lebih baik ia tidak menjawab atau dirinya akan mendengar balasan kata-kata ketus dari Oka.

"Kalau kamu ngga bisa serius di sini, sana ikutan bimbel," ucap Oka.

Ah, lagi-lagi itu. Sejak awal semester baru, ketika Amanda mendatangi Oka dan meminta Oka mengajarinya lagi, Oka langsung menyuruh gadis itu untuk mengambil bimbingan belajar saja. Tapi Amanda justru berkata bahwa dirinya tidak tega meminta uang kepada orang tuanya untuk memasukkannya pada kelas seperti itu. Gadis itu berencana baru akan mengambil bimbingan di kelas dua belas nanti untuk persiapan masuk kuliah.

Oka yang tidak pernah menimbang-nimbang saat meminta uang pada orang tuanya, lagi-lagi merasa tersentil. Akhirnya Oka mengiyakan permintaan Amanda dengan syarat gadis itu harus mentraktirnya makan di kantin sebulan dua kali.

Oka bisa saja meminta gadis itu membayarinya seminggu sekali atau setiap kali Oka ingin makan di kantin. Toh Oka bisa mengajarinya sampai seminggu tiga kali. Tapi laki-laki itu tak tega. Selain karena yang ia tahu, Amanda menggunakan uang jajannya sendiri untuk membayarinya, Oka juga merasa Amanda berteman dengannya dengan jujur. Gadis itu tidak seperti orang lain yang berteman dengan Oka hanya untuk memanfaatkannya.

Dazzling MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang