0. Prolog

222 38 61
                                    

-Manusia ditakdirkan untuk bertemu lalu berpisah-

***

Seorang gadis berjalan lunglai melintasi koridor lantai dua. Desiran angin mampu menyapu wajahnya, derap langkah bahkan terdengar jelas. Suasana yang sepi seakan menjadi teman kala itu.

Ia berjalan pelan mendekati loker 28 terdapat sticky note berwarna biru langit bertuliskan RamelA. Ia mengernyit mendapati loker tertempel selembar kertas buram dengan double tip yang menjadi perekat. Ramel menjulurkan tangan menarik lembaran keras itu. Ia menyandarkan bahu sebelum membaca secarik surat yang tertempel pada loker.

Dear Ramel Arindira

Terkadang suatu hubungan memiliki satu titik jenuh. Titik dimana saat aku dan kamu tidak lagi memiliki perasaan yang sama seperti dulu. Rasa jenuh ini bahkan enggan untuk pergi. Aku tidak tahu apa yang hilang dari dirimu. Aku bukanlah seorang penyair yang pandai menyuratkan isi hatiku lewat coretan pena.

Ramel,

Aku suratkan permintaan maaf yang tak mungkinku dapatkan dari dirimu. Hanya rasa jenuh yang mampu kusimpulkan lewat lukisan wajahmu. Kau harus tahu aku mencintaimu dan selamanya akan tetap sama.

Diammu mengisyaratkan padaku kau jenuh dengan hubungan ini. Kau tidak mau melanjutkan, namun aku tidak ingin mengakhiri. Aku tidak mungkin mengekangmu dalam rasaku, akhiri saja jika kau jenuh denganku.

Salam dariku
Orang yang berhasil menyakitimu.

Ramel menyunggingkan senyum kecut, setelah membaca kata terakhir dalam surat itu. Jari lentiknya terjulur membuka loker, surat yang ia dapatkan ia lipat membentuk persegi. Ia melempar asal surat itu diantara buku yang tersusun rapi dalam loker. Ramel menarik buku panduan biologi yang terselip di dalam sana. Mendaratkan bokong di antara deretan kursi yang berjejer rapi di samping loker. Ramel mengeluarkan buku tulis merobek halaman tengah, pena hitam langsung menari indah dalam lekukan jari lentik gadis itu.

Teruntuk Nui Pranata

Awal.
Rindu.
Rasa nyaman.
Pertengkaran.
Senyum manis.

Akhir?

Apa semudah itu bisa mengakhiri?
Apa semudah itu bisa melupakan?
Dan apa semudah itu bisa menghilangkan luka yang kau tunjukan lewat lintasan cahaya?

Kau menjadikan jenuh sebagai alasan untuk mengakhiri hubungan ini. Bisa kau torehkan lewat tinta hitam, kenapa rasa jenuh mampu menyelimuti hubungan ini?

Nui....

Kau tahu alasan diamku
Siapa yang sebenarnya merasa jenuh dalam hubungan ini?

Aku?

Atau

Dirimu?

Benar katamu, kau tidak mungkin mengekangku dalam perasaanmu yang kini abu, begitu pula sebaliknya.

Tapi, apa kau tahu apa yang aku rasakan saat kau tertawa lepas dengannya?

Apa kau tahu, seberapa sesak dadaku saat kau menyatakan isi hatimu kepadanya?

Akhiri saja jika itu maumu.

Salam hangat dariku
Orang yang selalu menyusahkanmu.

Buliran bening yang membendung pelupuk mata tumpah begitu saja, hingga membuat tulisan tangan itu menjadi buram. Ramel mengapus kasar buliran bening itu dengan kedua tangan. Berjalan pelan mendekati loker 58 yang ia tahu sendiri pemilik loker itu tidak akan mendatangi loker.

Langkah Ramel melambat saat ujung sepatnya menyentuh bibir pintu loker. Ia membuka pelan pintu loker yang hanya tersisa kertas lapuk yang kini berbalur debu. Jemari lentik itu terjulur meletakkan balasan suratnya tak peduli pemiliknya akan menerima balasan surat atau tidak.

"Kenapa elo yang dulunya selalu buat gue senyum bisa nyakitin gue kayak gini Nui?" gumam Ramel dengan suara yang gemetar. Ia kembali melanjutkan langkah meninggalkan tempat itu.

Ramel terus melangkah menyusuri koridor, hingga di ujung tangga, langkah Ramel terhenti melihat Nui yang berdiri menghalangi jalan. Ia menelan ludah kasar berbalik meninggalkan Nui.

Pria itu tersenyum kecut, jemari tebal Nui bergelayung cepat menggenggam pergelangan tangan Ramel. Ramel diam dalam pijaknya, entah kenapa dadanya terasa sesak mengingat Nui yang mampu mengecewakan dirinya.

"Dengerin penjelasan gue Mel," ucap Nui pelan, Ramel yang mendengarnya menelan ludah kasar. Ia diam berusaha melepaskan cengkraman Nui.

"Nui tangan gue sakit," ucap Ramel terdengar gemetar. Nui hanya diam melonggarkan genggamannya, membiarkan Ramel berjalan cepat meninggalkan dirinya yang betah mematung.

Nui tersenyum kecut. "Apa elo benci banget sama gue Mel?" gumam Nui menatap lekat punggung Ramel yang semakin menjauh.

***

Baru prolog, part selanjutnya bakal tahu karakter utamanya. Part selanjutnya juga bakal aku ceritain dari awal kisah Nui dan Ramel.
Mintak komennya ya :)
Salam kenal
7/1/2019
Revisi: 21.09.2021
Teruntuk orang yang baca ceritaku makasih ya, aku harap kalian terhibur:")
Ig: miminglup_
Tiktok: mimingmin

Melteen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang