Terkadang aku membenci mengulang fase yang sama dengan orang yang berbeda.
Guratan tipis tercetak jelas di sudut bibir Nui. Pandangan menyapu kearah penonton, meski ia hanya mengaransemen lagu namun hampir setiap harinya ia selalau mendapat tawaran untuk manggung. Kali ini ia membawakan lagu dari Iwan Fals (denting piano). Tepuk tangan meriah terdengar jelas membuat senyum disudut bibir tidak pernah pudar. Nui mengakhiri panggungnya memilih langsung keluar dari gedung itu.
"Nui," teriakan nyaring Riko menghentikan langkah pria itu. Nui membuang napas malas berbalik melihat Riko yang mulai melangkah mendekati dirinya. Nui mengangkat alis seakan bertanya kenapa.
"Gue tahu apa rencana lo," ucap Riko datar. Nui diam saja, wajah datar Riko seakan menunjukan rasa kecewa. "Kenapa akhir-akhir ini elo diemin gue, gue ada salah sama elo?" sambung Riko mencoba tetap tenang. Nui mengalihkan pandangan melihat jalanan yang lengang.
"Maafin gue," ucap Riko datar, menarik Nui dalam peluknya. Nui diam saja membiarkan Riko melepas pelukannya. Riko tersenyum kecut membiarkan Nui kembali melangkah.
***
Nui melangkah pelan kedalam ruko di dekat persimpangan jalan. Aroma lafender menyambut kedatangannya. Nui tersenyum kecil melihat laki laki tua tengah merangkai bunga mawar."Pak," ucap Nui pelan. pria itu membenarkan letak kaca mata. Memerhatikan seksama lekukan wajah Nui seakan memastika jika itu benar Nui. Pia itu bangkit dari duduknya, berjalan tergopoh mendekati Nui.
"Saya mau melunasi sisa pembayarannya pak," sambung Nui pelan, menyerahkan amplop cokelat, hasil dirinya manggu tadi. Pria tua itu memijit kening, berlih mengambil buku jurnal berwarna biru. Jemari telunjuk menari di atas buku itu seakan berusaha menemukan nama Nui.
"Ini sudah lunas dua hari yang lalu,"
"Siapa yang bayar?" tanya Nui cepat. Pria tua itu kembali membenarkan kaca mata, berpikir sejenak.
"Pria tinggi, tapi dia tidak membritahu siapa namanya," balasnya. Nui membuang napas malas. Melangkah kesal meninggalkan tempat itu.
Jemari Nui merogoh saku celana, dipandngi lama ponsel yang memampangkan nama Riko. Ibu jarinya menekan tompol panggil.
"Halo?"
"Makasih Ko,"
"Makasih buat apa?"
"Gak usah pura pura,"
"Ngomong apa sih lo, gue gak ngerti,"
"Makasih udah bantu gue buat lunasin toko bunga,"
"Ha elo enggak mabokkan, gue gak ada ngelunasin apapun,"
Nui berdecih, membuang napas malas, jika bukan Riko siapa lagi yang begitu peduli terhadap Ramel. Membuang napas panjang, memilih untuk mematikan sambungan teleponnya. Melangkah menyusuri jalanan, cahaya lampu ramang ramang berhasil menjadi saksi, ia terus melangkah mengabaikan desiran angin menyapu lekukan wajahnya. Nui menghentikan langakah tepat di depan toko bunga. Jemarinya menarik kunci berwana abu. Perlahan membuka pintu kaca itu. Suara lonceng terdengar jelas saat ia memasuki ruangan. Jemari terjulur pelan menyalakan lampu. Sudut mata menjalar. Rangkaian buangan kertas tertata begitu rapi. Kertas origami tertumpuk pada satu rak sesui dengan warnanya. Nui tersenyum kecil, melangkah menuju meja kasir. Jam beker berwarna putih terlihat senada bersanding dengan pot kecil yang berisi rangkaian bunga kertas. Jemarinya terjulur pelan menarik foto berukuran 4R. Kini sudut matanya memandang bouket bunga kertas yang sempat ia pesan dari Ramel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melteen
Teen FictionHidup itu seperti rubik, penuh perjuangan untuk mencapai hasil akhir. *** Ramel Arindira gadis cerewet dengan segala keunikannya berhasil membuat Nui Pranata jatuh hati dengan dirinya. Mereka terlalu biasa namun hubungan yang mereka rajut membuat m...