28. Kesempatan

11 6 0
                                    

Kesempatan itu sebuah pilihan yang datang karena keajaiban.



"Lima juta!"

Nui memutar mata malas mendengar pekikan Riko, sementara Wisma memegang telinga kiri yang berhasil berdengung. Roft top sekolah terlihat sepi kala itu. Semua murid telah meninggalkan sekolah, hanya saja Nui menyuruh Riko dan Wisma untuk menemui dirinya di tempat itu. Riko menggigit bibir bawah, berharap taruhan kali ini tidak akan memperkeruh hubungan Ramel dan Nui. Gadis itu terlalu polos jika terluka dengan cara yang sama. Suasana sedikit kaku, untuk beberap menit mereka berkutat pada pemikiran masing masing.

"Terus kapan elo mau nembak dia?" Wisma berceletuk, Nui membuang napas kasar.

"Besok," balasnya asal.

"Kalian mau bantu gue?" sambung Nui pelan. Wisma diam, mengangguk pelan. Riko menatapnya lekat. Kali ini ia tidak yakin akan bisa membujuk Ramel. Ia membuang napas berat.

"Dimana elo bakal nembak dia, masalahnya ini di hadapan orang banyak, elo mau kalau Ramel tahu?" ucap Riko cepat. Nui berhasil memahat senyum kecut. Jemarinya menepuk pelan pundak Riko.

"Elo gak mau kan kalau Ramel sampai tahu?" bukannya menjawab Nui malah melempar pertanyaan yang sama kepada dirinya, menyebalkan. Nui menarik napas beras. Menurutnya ini waktu yang tepat, Ramel yang masih mendiami dirinya tidak akan berusaha menemuinya, bukankah semua gadis itu sama jika mereka telah bertengkar dengan kekaihnya mereka tidak akan mau tahu apa yang kekasihnya lakukan, dan tidak mau menghubungi kekasihnya lebih dulu. Atau istilah gaulnya. Gengsi.

"Yudah gue pulang duluan," Riko memecah suasana. Pria itu bangkit berdiri tanpa menunggu kedua temannya memberi balasan. Nui tersenyum kecut melihat kepergian Riko.

Wisma masih betah menyandarkan tubuhnya pada tembok, membiarkan angin menyapu wajahnya. Ia menatap nanar kearah Nui yang betah diam.

"Kali ini elo butuh banget uang lima juta itu?" celetuk Wisma pelan. Nui tersenyum hambar.

"Setiap hari gue selalu butuh uang Wis, lo pikir mainin hati cewek gak buat gue ngerasa bersalah sama mereka, tapi keadaan yang selalu maksa gue buat lakuin itu, elo tahu sendri, gue bayar sekolah, makan aja gue sering minta di rumah elo, dan lebih menyedihkan gue hidup dari hasil uang taruhan doang, lima juta bukan uang yang dikit, itu bisa gue pakek buat dua bulan kedepan," jelas Nui panjang lebar. Wisma diam, ia gagal membaca perasaan Nui, melalui raut wajahnya yang datar.

"Gue gak mau aja, elo berjuang untuk kedua kali buat dapetin hati Ramel," balas Wisma pelan. Kemungkinan elo jadi mantannya Ramel itu besar banget, masalahnya elo nembak Geby depan banyak orang, gue gak yakin Ramel gak akan tahu tentang taruhan itu," sambung Wisma lagi. Nui tersenyum getir.

"Tapi gue yakin, Riko gak akan biarin Ramel tahu tentang taruhan itu," balas Nui cepat. wisma tersenyum samar berharap ucapan Nui benar.

***


Ramel melangkah pelan menyusuri taman. Sedari tadi ia mengulum senyum memandangi benda pipih menyala. Ia biarkan tas besar bertengger di lekukan jemarinya. Langkahnya semakin lama semakin melambat, hingga memilih bertumpu dalam pijaknya. Ia terpekik heboh menghentak-hentakan kaki, gigi ratanya menggigit bibir bawah berusaha menahan pekikan.

"Gila, asli gue bakal jadi youtuber ni, subscribe udah nyampek 120 ribu," gumam Ramel girang. Ia membuang napas lega. Kembali melanjutkan langkahnya menemui seseorang yang sedari mengirim spam chat.

"Ni orang gak sabaran banget," gerutunya kesal memandangi benda pipih itu. Jemarinya sibuk menekan balasan. Ramel menghentikan langkah. Memperhatikan seorang pria yang berdiri tak jauh dari pandangannya. Baju kemeja hitam bermotif garis garis, celana jins biru laut, sneker yang tampak senada yang ia kenapan. Ramel tersenyum simpul semua yang pria itu kenakan sesuai perkataannya.

Melteen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang