21. Lara

15 6 3
                                    

Terkadang tak butuh banyak kata untuk menyampaikan lara, cukup dengan diam yang tak berujung.



Satu minggu berlalu, semenjak kejadian waktu itu Ramel dan Nui masih betah diam, keduanya bahkan tidak bertegur sapa, atau sekedar melempar senyum. Nui betah merajut bibir tipis itu begitu pula dengan Ramel yang seakan pandai memainkan peran mendiami Nui.

"Ramel."

Teriakan nyaring Velo berhasil membuatnya mendengus kesal. Ramel diam masih betah melipat kertas origami membentuk bunga. Gadis itu menahan gerutu, wajahnya memerah menahan, kesal sepagi ini Velo telah menjajal dengan banyak keluhan yang berhasil membuat muak.

"Ramel jangan diem aja lo."

"Gak usah buhongin perasan elo deh, gue tahu lo cemburu."

"Nerima ajakan Nova buat dateng ke pesta dansa sama aja kalau elo mau nunjukin ke Nui lo itu gak peduli dia mau jalan sama siapa."

"Gue gak tahu otak lo dari apa, dengerin gue sekali aja napa."

Ramel berhasil membuang napas kasar. Hampir tiga puluh menit ia mendengar Velo terus berceloteh, menjajal dengan rentetan keluhan, apa katanya menyuruh Ramel mendengar dirinya. Velo sungguh keterlaluan sedari tadi Ramel masih setia mendengarnya, bahkan membalas saja Velo memotong cepat ucapannya.

"Liat ni belum apa apa, si Geby udah unggah foto bareng Nui," Velo menggerutu kesal. Ramel menatap lama hanya untuk memuaskan Velo yang seakan kebakaran jenggot melihat foto itu.

"Elo aja yang pacarnya gak pernah unggah foto kayak gini." Ia kembali menggerutu. Ramel yang menyandang gelar kekasih Nui saja tidak seheboh dirinya. Velo mendengus kesal menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi.

"Udah?" celetuk Ramel asal. Velo berhasil menutkan alis.

"Udah selesai lo nasehatin gue?" sambungnya cepat. Velo berdecak kesal. Menarik secarik origami melipat perlahan.

"Capek nasehatin elo," ucapnya malas. Ramel diam, jemarinya masih betah melipat origami itu.

Diam bukan berarti ia tidak gusar, hanya saja ia jengah menunjukkan jika dirinya sedikit terluka dengan perlakuan Nui. Potongan memori berhasil terlintas. Tatapan dingin dari Nui yang menghiasi manik Ramel. Bibir yang berkatup rapat setiap kali mereka berpapasan, atau cengkraman kasar Nui yang bergelayung tepat di pergelangannya. Ramel mendesah panjang sikap Nui seakan berubah semenjak kejadian itu. Tak ada senyum malu malu di sudut bibir, tawa yang pecah hanya karena mendengar dialog picisan yang Nui lontarkan, dan tak ada lagi rayuan manis pengantar tidurnya.

Nui berubah.

Ramel tersenyum kecil. Buliran bening berhasil bersarang di pelupuk mata. Tak ada niatnya untuk mencegah Nui tetap tinggal. Tak ada niatnya untuk menegur Nui dengan senyum hangat, atau paling tidak tak ada niatnya untuk mengirim pesan singkat kepada Nui. Ramel muak, biarkan saja berjalan sesuai kehendak waktu. Ia jengah jika terus menahan Nui dalam rasa yang semakin abu. Jemari Ramel tergerak merapikan kertas origami itu. Ia tersenyum getir, senyum yang selalu membuat Velo jengkel.

"Jangan pikirin hubungan gue sama Nui, nantik elo stress," celetuknya asal membawa semua kertas origamai dan lipatan bunga itu.

Ramel melangkah pelan menuju loker. Ia berhasil menelan ludah melihat Nui dan Geby bertukar tawa yang semakin kentara. Sudut bibir itu berhasil tersenyum kecut, ia kembali melangkah berpura pura tidak melihan keduanya, jemarinya terjulur cepat membuka loker itu.

Ramel menggigit bibir bawah yang muli gemetar. Sesak berhasil bersarang dalam dadanya. Jari telunjuk itu berhasil tergerak cepat menghapus bekas air mata. Ramel menangis dalam bisu, punggungnya bergetar. Tidak bisakah mereka mengurung tawa itu, tidak sadarkah Nui telah begitu menyakiti dirinya. Ramel menengadahkan kepalanya. Jemarinya tergerak menutup kasar pintu loker membuat Nui menatapnya lekat.

Melteen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang