42 Egois

19 5 1
                                    

Terkadang aku terlalu egois, dan berakhir menjadi alasan dari pilu yang ia rasa.


“Ia Mel,”
“Elo dimana”
“Gue di kantin,”
“Bisa temuin gue di rooftop?”
“Ia bisa, sekarang gue ke sana,”

Ramel tersenyum getir mendengar balasan Nova. Gadis itu mengusap kasar air mata yang jatuh bebas di pipi kiri. Ia menggigit bibir bawah, membuang napas berat, sekarang bahkan ia sadar semua orang membodohi dirinya. Ia Memeluk tubuh mungil, menarik napas dalam berusaha menghilangkan sesak yang sedari tadi ia tahan. Gadis itu telah lama berdiam diri di rooftop sekolah, Velo yang memaksa untuk menemani dirinya ia tolak begitu saja. Ramel menekan tombol utama hanya memastikan Nova akan segera datang. Derap langkah kaki terdengar jelas berhasil membuat Ramel menegang, gadis itu membalikkan tubuh. Ia memasang wajah datar melihat senyum simpul di sudut bibir Nova.

“Kenapa nyuruh gue kesini Mel,” tanya Nova pelan berusaha mencairkan suasana yang semakin beku.

“Sebenernya hubungan elo sama Geby apa Nov.” Ramel langsung mengutarakan niatnya untuk bertemu dengan Nova. Pria itu membuang muka melihat apa saja asalkan bukan manik Ramel. desir angin mendominasi, bahkan suasana semakin kaku, Ramel betah diam sementara betah dengan pemikirannya. Gadis itu membuang napas berat hampir lima menit ia menunggu balasan Nova, ia menghentakkan kaki meninggalkan Nova yang betah diam.

“Geby adik gue,” suara Nova lantang. Ramel berhasil menghentikan langkah berusaha mencerna ucapan Nova. “Geby adik kandung gue,” ucap Nova lebih menegaskan. Ramel kelu bodohnya ia bahkan tidak tahu akan fakta itu, atau memang Nova sengaja merahasiakan hubungannya dengan Geby pikir Ramel.

“Mungkin sekarang udah waktunya elo tahu Mel,” sambung Nova, Ramel membuang napas kasar melangkah lebar berjalan mendekati Nova.
“Maksud lo apa Nov, apa yang udah gue lakuin sampai elo sama Geby tega benget sama gue?” suara Ramel sedikit meninggi. Nova membuang napas berat, menggumamkan kata maaf namun tak bersuara.

“Gue sama Geby selisih satu tahu, tapi gue sengaja gak naik kelas biar terus bisa jagain Geby, dia itu depresi setelah papa kita meninggal, semenjak saat itu gue janji sama dia bakal ngelakuin apapun yang dia minta termasuk nyakitin elo.” Ramel menautkan alis, ucapan Nova terlalu ambigu bahkan sulit baginya untuk bisa memahami. “Waktu kelas tujuh dia tahu kalau mama punya hubungan sama papa elo, Om Adam, Geby semakin depresi, dia marah, dia enggak terima mama deket sama om Adam, dia pikir gara gara om Adam papa meninggal, padahal papa meninggal karena serangan jantung.” Ramel menunduk mencengkram kuat rok limitnya, susah payah ia menahan isak, namun kakinya semakin melemas. Bahu Ramel gemetar, masih menunduk gadis itu berusaha menyembunyikan isaknya.

“Geby nyuruh gue buat nyarik tahu siapa om Adam, dan enggak secara kebetulan gue pernah liat foto dia lagi meluk elo, mungkin elo gak pernah nyadar gue sering ikutin kemanapun elo pergi, gue cari tahu elo sekolah dimana, dan gue juga cari tahu elo bakal ngelanjutin sekolah dimana, dan akhirnya gue tahu.” Nova tersenyum hambar di akhir kalimatnya. Ramel betah diam, lidahnya kelu sulit sekali rasanya mempercayai ucapannya.

“Semenjak om Adam kenal Geby lebih dekat, Geby lebih membaik, tapi Geby masih harus bergantung sama obat. Geby maksa pingin sekolah disini, gue pikir dia mau kenal baik sama elo, niat awalnya emang kayak gitu, tapi dia tahu Nui suka sama elo, dia benci banget sama elo dan dia bilang sama gue,” Nova sengaja menggantungkan kalimatnya. Ramel mendongak membalas tatapan teduh Nova.

“Dia harus dapetin apapun yang elo punya,” sambung Nova pelan. Tangis Ramel pecah, ia bersimpuh membiarkan debu mengotori rok limitnya.  Bahunya bergetar, sesak seakan berulang kaki menyerang dadanya.

“Kenapa ada orang sejahat itu Nov,” suara Ramel pelan, Nova memilih mensetarakan tingginya dengan Ramel, jemarinya menepuk pelan pudak Ramel.

“Maaf,” balasnya pelan. “Cara gue emang salah, tapi gue bangga punya adik tiri kayak elo, sampai sekarang elo bahkan gak kasih tahu siapapun kalau Geby yang udah jahatin elo,” sambung Nova pelan. Gadis itu menatap lekat Nova, mata yang semakin sendu dengan raut kecewa yang Ramel tunjukkan berhasil membuat Nova jengah. Ramel mengusap kasar air mata yang berhasil membekas di pipinya. Ia tersenyum getir meski kecewa kembali hadir sebagai saksi bisu dari rasa naif.

Melteen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang