Mereka yang tidak pernah dihargai memilih untuk bersembunyi dibalik tameng bajingan.
Geby yang bersembunyi di balik dinding berlari kecil menuju kelas. Rona kesal yang berhasil muncul pada guratan mata tergantikan dengan senyum simpul yang tercetak jelas di sudut bibir. Ia menarikan pena seakan sibuk membuat karangan komik. Nui datang dengan wajah kesal. Melempar tubuh kasar membuat Geby sedikit terlonjak. Geby lebih ceria dari sebelumnya. Nui diam mendengar penjelasan Geby, sedikitpun ia tidak tertarik mendengar tuturan Geby yang berhasil meningggalkan jenuh.
Nui menatap lekat jam dinding itu. Sial, penunjuk arah itu tidak berfungsi. Sedari tadi masih memperlihatkan, jam 13.20 Nui berdecak kesal.
Ia memasukan asal semua buku, bangkit berdiri, menyampirkan tas punggung di sebelah pundaknya. Geby yang melihatnya ikut berdiri.
"Lo mau kemana?" tanya Geby, menahan lengan kekar Nui.
"Ada urusan," balasnya cepat.
"Lo gak bisa pergi ninggalin gue gitu aja," ketus Geby. Nui berhasil tersenyum hambar.
"Lo bukan siapa siapa gue," balasnya datar namun mampu membuat Geby jengah. Nui berlaru meninggalkan dirinya yang menahan kesal.
***
Motor Ramel menepi tepat di pinggir warung yang hanya di penuhi siswa laki laki. Awalnya ia sedikit rishi, namun rasa lapar seakan memaki. Perutnya sampai melilit menahan lapar. Bunyi yang terdengar nyaring berhasil membuat jengah. Perlahan ia melangkah, siulan mulai terdengar namun Ramel berusaha menghiraukan.
"Buk nasi uduk satu, sama es teh manis." Suara Ramel terdengar membuat penjual mengiakan. Ramel menuju salah satu bangku menghiraukan siulan yang mampu mengusik gendang telinga.
"Cewek sendirian aja."
"Punya pacar belum? kalau enggak gue mau kok jadi pacar lo."
Tawa renyah terdengar setelahnya. Ramel yang mendengar berusaha menjadi penonton bisu. Ia betah mengatup mulut berharap pesanan segera datang. Kepulan asap berhasil menyapu wajah mungil itu. Ramel terbatuk mendengus kesal melihat sisiwa itu yang dengan sengaja menghembuskan kepulan rokok tepat di wajahnya.
"Eh jangan di gangguin," geram penjual setelah membawa pesanan Ramel. Mereka hanya mengejek tidak jelas mendengar teguran wanita paruh baya itu. Ramel melahap makanannya, segurat senyum berhasil tercetak, setidaknya cacing dalam perut bisa ia tenangkan.
"Bagi nomor hape dong," Ramel berhasil tersedak mendengar suara bariton itu. Ia menengok kesal.
"Lupa" ketusnya sarkastis. Ia menyeruput es teh manis. Pria itu tersenym hambar, memperhatikan setiap jengkal lekukan wajah Ramel yang mampu membangkitkan gairahnya. Nui yang berdiri di depan pintu masuk berhasil mengepal jemarinya. Emosi yang berhasil terkumpul berusaha ia tahan. Perkiraannya tidak salah, Ramel yang lapar pasti akan mampir sebentar ke warung dekat sekolah.
Nui kembali memperhatikan pria itu. Pria itu masih berada dalam batas wajar. Pria itu menghapus jarak, mendekatkan duduknya tepat sejengkal sebelah Ramel. Tangannya terjulur menyentuh pundak Ramel membuat gadis itu menepis kasar. Namun sayang kekatan pria itu begitu kuat membuat Ramel sedikit kesusahan menjauhkan rangkulannya.
"Tar malam jalan sama gue yuk," ucapnya pelan mendekatkan wajah pada leher Ramel. Siulan terdengar jelas menggoda, mampu membuat Ramel takut. Ia menghentakkan kaki menginjak keras kaki pria itu. Ramel menelan ludah kasar saat pria itu tersenyum manis seakan injakannya hanyalah sebatas angin lewat. Sebelah tangan pria itu menahan lengan Ramel berusaha menguncinya pada satu titik. Ramel tidak berkutik cengkarannya begitu kuat, bahkan rasa sakit menjar tubuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melteen
Teen FictionHidup itu seperti rubik, penuh perjuangan untuk mencapai hasil akhir. *** Ramel Arindira gadis cerewet dengan segala keunikannya berhasil membuat Nui Pranata jatuh hati dengan dirinya. Mereka terlalu biasa namun hubungan yang mereka rajut membuat m...