Perasaan ini masih abu, memilih bersembunyi dibalik sendu.
Velo dan Ramel kompak menopang dagu. Menatap lurus kearah televisi berukuran kecil. Velo membuang napas kasar melihat layar televisi yang hanya memampangkan warna monokrom.
“Kenapa tv lo warnanya hitem putih si Mel,” ucapnya malas. Ramel berdecak. “Tv tua.”
Velo kembali menatap layar televisi itu, ia sungguh tidak sabar melihat Nui, Riko dan Wisma manggung untuk pertama kalinya. Ia kesal dengan sikap keras kepala Ramel. Gadis itu bahkan tidak mau datang ke taman kota untuk melihat mereka secara langsung. Velo yang berusaha mengerti dirinya menurut saja jika Ramel tidak datang ke acara itu. menyebalkan memang.
“Mel kesana yuk, tv lo hitem putih doang, cobak berwarna kan gue leluasa bisa liat Wisma,” Velo mengeluh tuk kali sekian. Ramel melirik malas berusaha mengabaikan ucapan Velo.
“Mel, yuk mumpung masih pembukaan,” sambungnya, berharap gadis itu menurut.
“Liat tu mukak si Wisma linglung gitu pasti dia nyariin gue di antara orang kecubung itu,” Velo berucap hiperbolis berharap gadis itu menuruti perkataannya. Ramel menengok menatap lekukan wajah Velo yang terlihat gusar.
“Yaudah, elo aja yang dateng, gue ga—“
“yes, yuk sekarang,” ucap Velo sengaja memotong perkataan Ramel. Gadis itu menarik tangan Ramel membuatnya melangkah lebar mengikuti Velo. Meski menolak untuk ikut Velo tetap memasa untuk Ramel ikut dengan dirinya.
***
“Vel, hati hati,” Ramel berteriak histeris menutupi wajah dengan telapak tangan. Dada terasa bergemuruh, Velo benar benar gila mengemudi di atas kecepatan seratus.
“Vel gue gak mau mati muda,” kembali ia berteriak membuat Velo terkekeh di balaik helm.
“Vel, yang lewat itu besi kalau ketabrak bisa mati.” Ramel menggerutu, jika tahu seperti ini ia tidak akan mau berboncengan dengan Velo. “Tenang aja, gue gak bakal, nab—“
Bruk
Velo kehilangan keseimbangan, motor yang ia kemudika jatuh perlahan membentur aspal.
“Belum juga kelar ngomongnya,” celetuk Ramel pelan.
Velo yang terjatuh berusaha membangunkan sepeda motor yang ia kemudikan.
“Bapak kalau nyebrang hati hati dong,” ketusnya kesal. “untung saya cuma luka dikit,” sambungnya lebih ketus.
“Ye si eneng bawa motor juga hati hati dong,” balasnya tak kalah ketus.
“Yaudah maaf deh pak.”
Velo medengus mendekati Ramel yang betah duduk di dekat trotoar.
“Elo ngapain duduk di sana,” celetuk Velo meniupi luka disikunya. Ramel membalas kesal, gadis itu berhasil membuatnya merasa takut.
“Untung kita gak mati,” celetuk Ramel asal.
“Tu mulut kalau ngomong hati hati dong, yaudah gak lagi ngebut deh gue bawa motornya,” balas Velo melembut. Ramel mendengus kesal, ia bangkit berdiri meski harus menahan rasa sakit di lutut.
***
Kedua gadis itu melanggkah pelan memasuki pintu festifal. Poster Nui, Wisma dan Riko terpampang jelas, ditambah lagi pintu yang diapit dua pilar yang menjulang dengan gemerlap lampu berwarna biru yang menjalari tiang itu. Suara Riko bahkan terdengar merdu menusuk gendang teliga mereka. Velo menyerahkan tiket VVIP yang sempat Wisma berikan siang tadi. Ramel yang melihat tiket itu berhasil membulatkan mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melteen
Ficção AdolescenteHidup itu seperti rubik, penuh perjuangan untuk mencapai hasil akhir. *** Ramel Arindira gadis cerewet dengan segala keunikannya berhasil membuat Nui Pranata jatuh hati dengan dirinya. Mereka terlalu biasa namun hubungan yang mereka rajut membuat m...