17. Peluk hangat

12 7 7
                                    

Jemarimu menarikku dalam pelukan hangat, pelukan yang lama aku rindukan. Jantung ini berdegup kencang, bergemuruh seirama dengan embusan napasmu.






Ia melangkah pelan menjulurkan jemarinya mengambil peper bag itu. Gadis itu membuang napas kasar mengambil sweter dalam paper bag lalu ia masukkan kedalam tas.

"Nui kenapa kayak gitu?" gumam Ramel setelah berhasil memasukan sweter itu.

***


Ramel menepikan motor di depan rumah dengan batu marmer yang mendominasi. Langkahnya pelan memasuki rumah itu. Jemarinya tergerak menekan bel yang tertempel. Ramel mengembungkan pipi melihat Velo masih mengenakan baju seragam, hanya saja ia telah melepas dasi yang berhasil melingkar pada lehernya.

"Nui, Vel," ucap Ramel malas. Velo menarik jemarinya memasuki rumah besar itu.

"Kenapa lagi?" tanya Velo pelan. Ramel menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa. Bibir mungil itu tergerak menceritakan kepadanya. Velo mengangguk pelan, mengetuk jemari di dagu.

"Lo beruntung banget ya, dapet sweter baru dua lagi, buat gue satu dong," celetuk Velo pelan. Ramel mendengus mengetuk pelan pundaknya.

"Vel,"
"Apa?"

Ramel membuang napas kasar. Velo bukan teman yang pas untuk memberi solusi. "Elo kayak gak tahu pacar lo aja, bentar lagi baikan, percaya deh," sambung Velo cepat berusaha meyakinkan Ramel. Ia melangkah pelan menuju kulkas mengambil sisa kacang mete. Ia kembali melangkah menjulurkan kacang itu. Jemari Ramel menarik malas kacang itu, perlahan ia masukan kedalam mulutnya.

"Tu mukak udah banyak makan kacang kok gak keluar jerawat ya Mel?" tanya Velo geli melihat wajah Ramel yang masih mulus tanpa ada bekas jerawat pada wajahnya. Ramel mendengus kembali memasukan kacang metenya.

"Makanya jangan kebanyakan make up, jadi mukak lo jerawatan," celetuk Ramel malas. Velo berdecak kesal mendengar tuturan Ramel. Ia saja harus menjaga pola makan dan menghindari makanan yang berbaur kacang.

"Udah gak usah pikirin Nui, mending pilih gaun gue udah brosing buat acara pesta dansa minggu depan," celetuk Velo berusaha mengalihkan pembicaraan. Ramel berhasil membulatkan matanya melihat harga yang tertera di sana. Ia membuang napas kasar menggeleng cepat.

"Mahal," celetuknya cepat. Velo membuka mulut kecil, mendengus kesal.

"Ini gaun udah paling murah Mel," geram Velo. Ramel mencebik kembali memakan kacang metenya.

"Tar lo mau kesalon mana, biar bareng sama gue,"

"Kalau kesalon berapa bayarnya Vel?" Ramel balik bertanya.

"Paling murah sih tigaratusan lah," ucap Velo santai. Ramel berhasil menelan ludah kasar. Paling murah bagi Velo, tetapi bagi Ramel masih dalam kategori mahal. Tiga ratus ribu bisa ia gunakan untuk membayar sekolah.

"Vel, harus banget ya kesalon, beli gaun atau apalah itu?" tanya Ramel ragu. Velo mengangguk mantap. Jika di hitung hitung untuk merias dirinya saja ia harus menyiapkan uang kurang lebih sejuta. Ramel mengunyah kasar kacang metenya.

Mending uangnya gue pakek bayar sekolah, Velo mah enak anak orang kaya, lah gue
Ramel membatin. Dia memang tidak cantik, tetapi wajahnya juga tidak terlalu buruk, baju baju yang ia miliki juga bisa ia pakai untuk datang ke pesta dansa itu, pikir Ramel.

"Kayaknya gue gak ke salon deh Vel, dan gaunnya gue pakek gaun yang tahun lalu aja," balas Ramel cepat berhasil membuat Velo mengalihkan pandangannya dari benda pipih yang terselip pada jemarinya.

Melteen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang