32. Marah

14 4 0
                                    

Aku ingin bersembunyi melampiaskan rasa marah yang berhasil menyekat.





"Makasih," ucap Ramel pelan. Nui hanya mengangguk mengiakan ucapannya. Gadis itu menjulurkan jemari mendorong pelan pagar putih itu. langkahnya lunglai memasuki rumah dengan pencahayaan remang remang kala itu. Nui diam memilih menatap punggung Ramel yang lenyap di ujung pintu. Kembali ia menjalankan mesin motor, meninggalkan tempat itu.

"Kenapa baru datang?" Suara Sandra terdengar ketus, melihat Ramel yang terlihat kacau. Gadis itu diam, tak sedikitpun niatnya untuk membalas pertanyaan Sandara. Langkahnya pelan melewati wanita paruh bayah itu. Sandara geram, berdecak mengulangi pertanyaannya lagi. Ramel masih diam, seakan bibirnya sulit untuk ia gerakkan. Wanita itu berkacak pinggang melihat tingkah anakknya yang arogan.

"Ramel," bentak Sandra kesal. Ramel tersenyum getir menghentikan langkah saat pintu kamar berhasil menghalanginya.

"Aku tanya, harusnya kamu jawab," bentak Sandra yang betah diam dipijaknya. Ramel memutar tubuh membalas tatapan Sandra, wanita itu terlihat lugu dengan semua kebohongan yang berhasil menyakiti putrinya sendiri.

"Aku, ketemu sama papa." Sandra berhasil mematung mendengar ucapan getir dari putrinya. Ia diam seakan kehilangan seribu kata untuk membentak Ramel kembali.

"Aku baru aja tahu kalau mama sama papa udah lama pisah, bahkan semenjak aku kelas enam," sambung Ramel getir. Ia diam menatap nanar Sandra yang memilih untuk membuang muka. Ramel menelan ludah kasar, sikap dingin Sandra selalu berhasil membuat dirinya kecewa. Perlahan ia mengayunkan tungkai kaki mendekati wanita paruh baya itu.

"Mama hebat bisa buat aku percaya dengan semua yang mama bilang, papa akan nemuin aku, papa yang baik baik aja, dan papa yang selalu bahagia meski tanpa mama, dan nyatanya semua itu bener ma," ucap Ramel pelan. Gadis itu tersenyum getir, mengingat ayahnya yang menemui dirinya dengan cara yang begitu menyakitkan, mendengar kenyataan yang selalu berhasil mengolok ngolok dirinya. melihat dengan gamblangnya kalau nyatanya ayahnya hidup bahagia dengan keluarga baru yang ia punya.

"Kenapa ma, kenapa harus bohong," sambung Ramel pelan. Ia menelan ludah kasar, entah kenapa kerongkongannya terasa mengering, gadis itu betah menatap Sandra dengan tatapan teduhnya.

"Tolong jawab ma," desak Ramel yang kini melorotkan tubuhnya. Membiarkan kulit putihnya merasakan dinginya ubin lantai. Ramel menunduk, menahan isak, beberapa kali ia mendaratkan kepalan tepat di pangkuannya. Sandra kelu melihat Ramel yang betah menunduk. Isakan yang sedari tadi Ramel tahan berhasil menusuk indra pendengaran wanita itu. Sandra menarik napas panjang, buliran bening yang bersarang di pelupuk mata perlahan jatuh membekas di pipi tirusnya.

"Karena kamu, karena kamu yang selalu banggain dia, kamu yang selalu percaya dia akan datang, dia yang akan melindungi mu dari kemarahanku, dan kamu selalu menunggu pelukan hangatnya," balas Sandra beberapa detik setelahnya. Ramel diam, hatinya semakin memberontak, membanggakan orang yang sama sekali tidak merindukan dirinya.

"Aku bahkan tidak mempunyai keberanian untuk memberitahu mu tentang percerainku, aku tidak yakin kamu akan percaya dengan diriku, bahkan sampai saat ini bukankah kamu lebih merindukan dia?" tanya Sandra datar. Ramel hanya diam, jemarinya meremas kuat rok limit yang ia kenakan. Ia begitu bodoh, bersembunyi di balik angan semu. Ucapan datar Sandra bagai pukulan telak yang berhasil bersarang di balik ulu hatinya.

"Jika kamu berada di posisiku apa kamu akan tega mematahkan sebuah harapan kecil dari seorang gadis yang naif, apa kamu tega mengatakan jika ayahnya bahkan sama sekali tidak peduli dengan dirinya, apa kamu berani mengatakan jika ayahnya lelih memilih untuk hidup mandiri dari sekedar hidup dengan istrinya yang katanya begitu cerewet dan membosankan, apa kamu cukup berani untuk mengatakan kalau nyatanya ayahnya bahkan tidak ingin lagi terikat dalam hubungan pernikahan." Suara datar Sandra menggema memenuhi penjuru ruangan itu. Gadis itu betah tertunduk, tak satu pun buliran bening berhasil ia bendung. Hatinya bagai diiris sembilu, ia hanya kelu mentertawakan kebodohan yang berhasil menjadi bumerang dalam hidupnya.

Melteen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang