30. Pergi

19 4 0
                                    

Jika pergi tak bisa aku cegah akanku simpan rindu ini.





Nui melonggarkan pergelangan Ramel membiarkan gadis itu menghentakan kaki meninggalkan dirinya.

"Dan akhirnya elo tahu,"

Nui membatin menatap punggung Ramel yang lenyap di ujung tangga. Tepukan pelan di pundak Nui berhasil membuatnya menengok cepat. Bastian menjulurkan seamplop uang, sudut bibirnya tersenyum miring menatap Nui yang betah diam.

"Elo berhasil, selamat ya," ucap Bastian mengulur jemari Nui untuk menerima uang itu. Bastian melangkah meninggalkan Nui yang hanya diam.

Nui menunduk melihat uang itu, sudut bibirnya tersenyum getir melihat lembaran uang merah.

"Gue menang taruhan, harusnya gue seneng," gumamnya pelan.

Riko membuang napas kasar, kaki panjang itu melangkah pelan mengikuti Wisma yang berlari kecil menuruni tangga.

"Elo gak papa kan?" pertanyaan itu keluar bebas dari bibir tipis Wisma. Nui diam, menghiraukan ucapan Wisma. Ia mengayunkan tungkai kaki meninggalkan mereka.

Nui melangkah menyusuri koridor lantai tiga. Ia berhasil mengepalkan jemarinya mendengar celoteh para siswi yang seenak jidat menjadikan dirinya buah bibir di siang bolong seperti ini.

"Nui sama Geby jadian, cocok deh mereka,"

"Gak salah kalau King and Queen jadian,"

"Duh Nui ganteng Geby cantik klop,"

Napas Nui terengah engah, ingin rasanya berteriak membentak mereka, namun akan terlihat aneh jika Nui melakukan itu. Tanpa disuruhpun mereka akan dengan senang hati menjadikan dirinya sebagai buah bibir konyol. Nui mempercepat langkahnya menuju rooftop sekolah.

***


Ramel menghentikan langkah di rooftop, menunduk menahan isak. Ia tidak pernah tahu patah hati sesakit itu, ia tidak pernah membayangkan Nui dengan mudahnya membodohi dirinya. Ramel menggigit bibir bawah, mengapus kasar air mata yang jatuh bebas. Tidak, ia tidak secengeng itu, Nui menyebalkan. Tega sekali ia membuat mata hazel Ramel membengkak. Ramel kembali terisak, hatinya benar benar terluka. Tangis yang sedari tadi ia tahan pecah begitu saja, banteng pertahanan yang ia bangun di awal untuk tidak menangis hanya karena patah hati hancur tak kentara. Dada Ramer bergemuruh, seakan memberontak mengingat penghianatan itu. Gadis itu menghentakkan kaki kesal.

"Gak gak boleh nangis Cuma gara gara Nui," gumamnya di sela isak. Ramel menegang mendengar hentakan langkah kaki yang semakin lama semakin terdengar jelas. Ia berlari cepat bersembunyi di balik papan yang hampir lapuk. Ramel membekap mulut, ia tak ingin orang lain menganggapnya lemah, akan terdengar konyol jika ia menangis hanya karena patah hati. Di baliak celah lubang kecil papan, sudut mata Ramel berhasil menangkap wajah orang itu. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha untuk tidak menimbulkan suara sekecil apapun.

Pria itu terengah engah. Tatapannya tajam. Nui menendang keras kaleng hingga membentur papan kayu itu. Ramel menutup bibir mungil itu, pekikannya nyaris mengudara. Jemari Nui terkepal kuat, ingatan tentang Ramel terngiang tanpa bisa ia cegah. Nui memukul keras dinding yang hanya berlapis semen. Menjatuhkan pukulan secara brutal, ia biarkan lekukan jemarinya memerah. Nui menggeram kesal, menendang bangku bangku kayu yang tertumpuk rapi. Batu bata yang berjejer ia tendang begitu saja tak peduli kaki panjangnya terluka atau tidak. Napas Nui terengah engah, ia menunduk mengepalkan jemarinya. Pria itu menggeram kesal, mengusap kasar wajahnya. Lekukan jemarinya berhasil mengeluarkan darah, buliran kental itu menetes perlahan.

Melteen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang