43 Waktu

19 5 0
                                    

Tuhan bolehkah aku menghitung berapa lama waktu yang aku punya untuk bersabar. Terkadang aku ingin berhenti, namun harapan itu selalau hadir seakan mengatakan jika semuanya akan berakhir.

Ramel duduk di teras rumah, menatap langit malam yang penuh bintang. Ia mengguratkan senyum kaku, mentertawakan kebodohan dirinya. Gadis itu menarik napas dalam.

"Ramel," suara pelan itu berhasil membuat Ramel mendongak. Wanita paruh baya berdiri menyandar di pintu.

"Ma, mungkin gak sih ma cita cita aku bakal tercapai?" Ramel berucap pelan.
"Apapun bakal terjadi kalau kamu mau usaha, kerja keras, yakin," balas Sandra cepat. Ramel tersenyum kecil. "Mama doain aku biar cita cita ku tercapai," Ramel berceletuk pelan. Sandra yang mendengar tersenyum kecil, Ia membuang napas pelan.

"Seorang ibu selalu doain anaknya yang terbail Mel," balas Sandra pelan. Ramel tersenyum menatap langit, sementara Sandra wanita itu memilih untuk kembali memasuki rumah membiarkan Ramel duduk sendiri.

"Mel jangan kelamaan duduk di sana, mama tadi liat ada orang di pohon manga liatin kamu," suara Sandra nyaring. Ramel membuang napas kasar mengamati pohon manga yang berdiri kokoh di seberang jalan. Ia berdecak, bahkan sudut matanya tidak berhasil menemukan seseorang di pohon itu.

"Mama jangan buat aku takut," Ramel meninggikan suaranya. Ia mendengus bahkan Sandra tidak menjawab pertanyaannya. Angin malam yang awalnya tidak terasa dingin entah kenapa terasa menyekat, ia membuang napas malas melempat tatapan ke seberang jalan, masih sama sepi hanya cahaya lampu remang remang yang menjadi penerang di seberang jalan. Ia mengusap telapak tangan berharap mendapat sedikit kehangatan. Ramel bangkit berdiri mendak memasuki rumah.

Kretek

Ia menghentikan langkah mendengar suara itu. Ramel mendengus itu seperti suara ranting.

"Ramel,"

Astaga siapa yang memanggil namanya, seingatnya sedari tadi tidak ada orang di sekitaran sana, pikir Ramel. Ia menutup mata berbalik perlahan, gadis itu mengintip dari celah jemari. Bibir mungil itu nyaris membulat melihat Nui telah berdiri tersenyum kearahnya. Tunggu untuk apa Nui menemui dirinya, ia membuang napas panjang menatap pria itu dengan wajah setengah jengkel.

"Ngapain kesini?" tanya Ramel tanpa basa basi. Nui tersenyum kecut.

"Mau nanyain pesenan gue," balasnya cepat. Ramel membuang napas panjang, rasanya baru tadi pagi Nui memesan. Ramel berdecak, namun Nui tersenyum samar melihat wajah kesal Ramel.

"Elo bilang diambil lusa, bunganya belum gue buat," celetuk Ramel kesal. Nui diam, andai saja Ramel tahu ia kehabisan alasan untuk bertamu ke rumah ini. Pria itu masih betah diam menatap lurus manik Ramel, sudut bibir itu tersenyum kecil melihat Ramel tidak lagi terpuruk seperti sebelumnya. Ramel memejamkan mata paksa, suasana kaku selalu berhasil membuat dirinya kehilangan kata, sampai sekarang pun degup jantungnya berdetak lebih kencang, melihat manik Nui yang seakan menyiratkan rasa. Ia membuang napas kasar, entah kenapa suasana terasa semakin canggung.

"Udah dulu ya gue mau masuk," suara datar Ramel, berhasil membuat Nui tersenyum kecut.

"Elo bener udah ngelupain gue ya Mel?" Ramel menghentikan langkah, betah memunggungi Nui. Ia menggigit bibir bawah, jantungnya kembali berdegup lebih cepat. Kepalanya mengangguk perlahan mengiakan ucapan Nui. Pria itu tersenyum kecut melihat Ramel yang betah memunggungi dirinya.

"Bagus gue bakal ngelupain elo kok Mel, jangan lupa pesenan bunga gue," ucap Nui datar. Ramel hanya berdehem. Pria itu mendengus kesal, melangkah cepat meninggalkan pekarangan rumah Ramel.

Melteen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang